[PROFIL] Usia Bukan Penghalang Untuk Menjadi Relawan



Meski usia sudah kepala empat, tepatnya 43 tahun, bukan menjadi penghalang untuk seorang Tini MF menjadi relawan di mana-mana.

Kenapa di mana-mana?

Ya, karena setiap kali kegiatan komunitas-komunitas di Bandung yang mengusung isu lingkungan, anak, pendidikan dan sosial hampir dapat dipastikan, akan bertemu dengan beliau. Beliau adalah relawan di YPBB (Yayasan Pengembangan Bioteknologi dan Biosains), KSK (Komunitas Sahabat Kota), Kail (Kuncup Padang Ilalang), Bandung Berkebun,  GSSI (Garage Sale Sekolah Ibu), Madrasah Nurul Iman dan kegiatan PKK di sekitar rumah. Belum lagi aktivitas rutinnya mengajar di salah satu bimbingan belajar.

Layaklah Tini disebut seorang aktivis. Menurut beliau, aktivis adalah seseorang yang merelakan sebagian waktunya untuk orang lain, tanpa berharap untuk dibayar. Aktivis adalah seseorang dengan visi yang jelas. Hal itu terbukti dengan aktivitas Tini yang menekuni dunia relawan selama empat tahun belakangan ini. Sampai-sampai anak sulungnya, Aghnie Hasya Rif telah turut serta menjadi agen perubahan mulai dari tingkat SMP sampai sekarang.

Kenapa ibu dua anak ini mau meluangkan waktu dan tenaganya, bahkan sering pula merogoh kocek sendiri untuk menjadi relawan? Apa yang melatarbelakanginya ? Mari kita telusuri perjalanan Tini menjadi relawan di beberapa komunitas dan lembaga berikut.

Sejak dahulu, Tini suka dengan dunia anak-anak. Bungsu dari tujuh bersaudara ini mempunyai pengalaman masa kecil yang kurang mengasyikkan. Masih membekas dalam ingatannya, saat tidak boleh keluar rumah untuk bermain dengan teman sebaya. Tini kecil hanya melihat aktivitas anak-anak di sekitarnya dari dalam rumah yang dibatasi oleh pagar. Alasan orang tuanya menahan Tini di rumah adalah, lingkungan sekitar rumah tidak terlalu baik untuk mendukung perkembangannya sebagai seorang anak kecil. Akhirnya Tini terpaksa berdiam di dalam rumah dengan aktivitas seadanya.

Karena tidak punya adik, masa remaja Tini dilewatinya dengan bermain bersama keponakan-keponakan, sambil mengasuh mereka. Sebagai seorang remaja, Tini mulai berinteraksi dengan anak-anak lain saat Tini mengajar privat. Padahal saat itu Tini masih duduk di bangku SMA kelas 1.   

Berkaca dari pengalaman masa kecil tersebut, akhirnya saat kuliah Tini bergabung dengan komunitas masjid Salman yang mengadakan kegiatan dampingan anak-anak. Kesukaannya dengan dunia anak terus diasah dan disalurkan dengan menjadi relawan di KSK (Komunitas Sahabat Kota). Tini tidak pernah bosan untuk mencari dan belajar tentang apa saja yang menjadi kebutuhan dunia anak.

Untuk menambah wawasan diri, Tini sering ikut pelatihan yang diadakan oleh komunitas atau lembaga lain. Tak jarang akhirnya menjadi relawan di komunitas atau lembaga tersebut. Salah satu contohnya saat mengikuti Pelatihan Pengembangan Diri yang diselenggarakan oleh Tim Kail pada bulan Juni 2011. Setelah itu Tini merasakan jadi relawan di beberapa kegiatan Kail. Sempat pula menjadi bagian dari tim trainer pelatihan zero waste lifestyle YPBB, meski akhirnya tidak dilanjutkan.

Panggilan hidup Tini adalah dunia anak-anak dan pendidikan. Sampai saat ini Tini dan suami membuka bimbingan belajar untuk siswa SD, SMP dan SMA. Di sela-sela kesibukannya, ia tetap mendampingi ibu-ibu PKK dalam membina pendidikan dasar bagi usia dini, menjadi kepala sekolah di Madrasah Nurul Iman tanpa dibayar dan memanfaatkan lahan hijau yang ada di sekitar rumah untuk menanam.

Ada hal menarik dari kehidupan sehari-hari seorang Tini. Meskipun orang tua Tini telah meninggal dunia semenjak ia remaja, tapi pengalaman manisnya bersama mereka, termasuk tidur bersama orang tuanya tidak pernah lepas dari ingatan Tini. Sampai saat ini pun, Tini tidak pernah dan tidak bisa tidur sendirian. Selalu ada suami dan anak-anak yang senantiasa menemaninya tidur, termasuk mendukung Tini dalam setiap aktivitasnya.

(Melly Amalia)

[PIKIR] Relawan : Siapakah Mereka?


Dunia yang semakin tua ini kini penuh oleh kecamuk masalah. Beragam masalah, mulai dari masalah sosial kemasyarakatan, lingkungan, hingga kemanusiaan. Setiap permasalahan seringkali berujung pada degradasi kualitas hidup manusia, dari segi kesehatan, kesejahteraan hingga moralitas.
Di tengah hiruk pikuk permasalahan  yang sering melanda masyarakat dunia, terdapat segelintir orang yang memberikan sumbangsih berupa tenaga, dana, pikiran, untuk mendorong ke arah penyelesaian masalah. Bahkan mengupayakan ke arah perubahan yang lebih baik. Para penggerak perubahan itu adalah para aktivis dan relawan. Ulasan tentang aktivis secara detail dapat juga Anda klik di sini.
Tidak semua aktivis adalah relawan. Tetapi, kebanyakan aktivis seringkali memulai debutnya dengan menjadi relawan. Bila aktivis mendedikasikan seluruh hidupnya untuk keberpihakan tertentu, maka relawan adalah orang-orang yang menyisihkan sebagian waktunya untuk memberikan sumbangsih tertentu pada sebuah gerakan ke arah perubahan. Namun demikian, ada juga orang-orang yang memilih jalan hidupnya sebagai relawan full time. Jadi, ada beberapa orang menjalani hidupnya sebagai aktivis sekaligus relawan.

Menjadi Relawan : Tanpa Nyali dan Berani Mati?

Rachel Corrie, adalah nama yang sangat fenomenal di dalam dunia aktivis dan relawan. Lahir pada tahun 1979 di Washington, Amerika Serikat, gadis ini semenjak kecil telah memiliki keprihatinan pada masalah-masalah kemanusiaan. Semasa sekolah, ia telah menjadi relawan yang menyuarakan masalah-masalah kemiskinan, gelandangan dan kelaparan. Setelah lulus kuliah, gadis ini berangkat ke Palestina untuk menjadi aktivis perdamaian. Ia gugur oleh sebuah buldozer milik Israel yang melindas tubuhnya di Kota Rafah, Jalur Gaza. Buldozer milik Israel itu tengah menghancurkan perumahan warga Palestina dengan alasan hendak mencari kaum teroris di Kota Rafah.
Rachel Corrie
Sumber foto : www.rachelcorrie.org



Jika Anda ingat pada beberapa pemberitaan di berbagai media elektronik tentang penanganan bencana maupun konflik, dari puluhan hingga ratusan relawan terjun untuk membantu para korban. Ada relawan yang bertugas menggotong mayat-mayat korban bencana, sementara relawan lainnya masuk ke puing-puing rumah yang runtuh, dengan risiko nyawanya sendiri dapat melayang bila terjadi keruntuhan susulan. Relawan lainnya harus berhadapan dengan pihak separatis atau militer tertentu yang secara brutal dapat memuntahkan peluru dari senjatanya. Betapa hidup relawan seperti sebuah telur yang berada di ujung tanduk.
Namun demikian, ada juga relawan yang tak harus berhadapan dengan marabahaya. Misalnya, relawan donor darah atau relawan pendidikan yang bertugas mengajar anak-anak di tenda pengungsian. Ada juga relawan yang bergerak di pelestarian lingkungan hidup, dengan kegiatan penanaman pohon, kampanye nol sampah atau bersih-bersih sungai dari sampah. Jadi, tidak semua relawan harus berani mati atau tanpa nyali dalam melakukan kegiatannya. Namun demikian, bukan berarti relawan yang tak berhadapan dengan marabahaya bisa leyeh-leyehdalam melakukan tugasnya.
Semua orang yang memilih untuk terjun di dalam dunia relawan memiliki tanggung jawab moral yang sama besarnya dalam membantu menyelesaikan masalah kemanusiaan apapun bentuk pekerjaannya. Relawan adalah orang yang memiliki keprihatinan terhadap aspek tertentu di dalam masyarakat, lalu ia tergerak untuk melakukan sesuatu, dan yang perlu digarisbawahi, orang-orang tersebut merealisasikan keberpihakannya dengan sukarela, tanpa pamrih.

Latar Belakang Seseorang Menjadi Relawan

Seseorang menjadi relawan dengan berbagai motivasi. Hal pertama yang sangat mungkin menggerakkan seseorang untuk menjadi relawan adalah adanya GERAKAN HATI. Hati yang tergerak karena menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Hati yang gelisah karena terjadi penindasan yang menginjak-injak nilai kehidupan seorang manusia.
Gerakan hati bisa timbul karena perasaan yang peka pada diri seseorang. Di sisi lain, gerakan hati tidak muncul begitu saja seperti wangsit undian berhadiah. Gerakan hati timbul karena masa lalu dan pengalaman yang menempa seseorang. Sebagai contoh, hati seseorang tergerak untuk mendedikasikan dirinya bagi perkembangan pendidikan dan permainan seorang anak, karena orang tersebut mengalami sendiri masa kecilnya yang serba terkekang, dan tidak mengalami kepuasan sebagaimana anak kecil pada umumnya.
Latar belakang lainnya yang menggerakkan seseorang menjadi relawan adalah, karena orang tersebut ingin belajar sesuatu dari pengalaman kerelawanannya. Misalnya, dengan menjadi relawan lingkungan hidup, seseorang belajar memahami pengertian tentang pemanasan global atau tata cara menghasilkan pupuk organik dan kertas daur ulang.
Selain motivasi belajar dan menambah pengalaman, seseorang menjadi relawan karena ia merasa bertanggung jawab pada masyarakatnya sendiri. Hal ini biasanya terjadi pada korban yang merasakan dampak dari kondisi yang tidak adil atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Contoh nyata dapat kita temui pada penduduk lokal yang terkena bencana gempa atau tsunami. Para penduduk lokal rela bahu membahu menjadi relawan untuk mencari korban yang selamat di antara reruntuhan puing-puing bangunan yang rubuh akibat gempa. Ada juga penduduk lokal yang merelakan diri menjadi relawan kesehatan untuk ibu-ibu hamil dan menyusui di desanya. Atau, penduduk lokal yang mau menjadi relawan pendidikan untuk mengajari anak-anak putus sekolah di desanya.
Yanti, gadis pengungsi pasca tsunami Aceh, menjadi relawan pengajar di tenda pengungsi untuk anak-anak putus sekolah
Sumber foto : http://volunteer-story.blogspot.com/2012/03/kisah-para-relawan-guru-wanita-tujuan.html

Relawan : Turis yang Melakukan Wisata Kemanusiaan?

Bagaimana dengan orang-orang yang menjadi relawan semata-mata karena senang berada di wilayah terkena bencana yang menurutnya bombastis? Orang-orang ini berniat menjadi relawan karena senang memacu adrenalinnya sendiri. Seperti orang yang hobi melakukan olahraga arung jeram atau panjat tebing, tapi, yang satu ini terjun sebagai relawan demi kepuasan dirinya sendiri.
Relawan dengan kriteria seperti disebutkan di atas, tidak akan pernah seratus persen mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk persoalan-persoalan kemanusiaan, darurat bencana maupun lingkungan hidup. Ia menjadikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ajang pamer diri, tanpa pernah memaknai kontribusi dirinya terhadap persoalan-persoalan yang diterjuninya. Orang-orang seperti ini bagaikan seorang turis di sebuah daerah wisata berpemandangan bencana atau fenomena lingkungan.
Contoh orang-orang seperti ini dapat kita temukan pada daerah-daerah bencana, seperti wilayah terkena lumpur Lapindo, wilayah terkena tsunami Aceh, wilayah korban gempa di Padang atau Yogyakarta, wilayah terkena banjir bandang di Wasior, Papua hingga wilayah-wilayah konflik seperti Ambon, Sampit, Lampung Selatan. Relawan ‘turis’, akan memanfaatkan peristiwa kemanusiaan hanya ketika momen tersebut tengah mendapat perhatian penuh dari berbagai pihak, dan diberitakan terus menerus oleh media massa. Ketika perhatian kepada peristiwa tersebut menurun, relawan ‘turis’ ini akan pergi dan hilang tak berbekas.
Meski demikian, ada beberapa orang yang berangkat sebagai relawan ‘turis’ dengan motivasi sekedar ingin tahu atau sekedar memacu adrenalin, mengalami perubahan diri setelah bersentuhan langsung dengan fenomena kemanusiaan dan lingkungan yang dihadapinya. Perubahan terjadi pada komitmen dan pemaknaan diri mereka setelah terjun menjadi relawan. Perubahan ini sangat baik, karena merupakan titik balik bagi individu yang bersangkutan. Di dalam dirinya terjadi transformasi diri, dari pribadi yang awalnya hanya memikirkan kesenangan dan kepuasan diri, menjadi pribadi yang rela melakukan sesuatu bagi orang lain.
Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan motivasi diri, ketika Anda memutuskan menjadi relawan. Senantiasa mengintrospeksi diri akan mengasah motivasi diri dalam melakukan sesuatu bagi orang lain dan lingkungan.
Relawan Greenpeace bergotong-royong membangun bendungan di hutan gambut, Desa Kuala Cenaku
Sumber foto : http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/picture-desk/lebih-dari-30-relawan-akan-bek/

Relawan : Dapat Apa?

Beberapa orang mungkin akan berpikir, untuk apa susah-susah bekerja sebagai relawan, namun tidak ada imbalan materi sedikit pun yang didapatkan. Orang-orang seperti ini akan berpikir seribu kali ketika datang tawaran menjadi relawan untuk sebuah kegiatan kemanusiaan atau lingkungan hidup. Jadi, sesungguhnya, apa yang membuat seseorang memilih dan menjalani aktivitas sebagai relawan?
Meski bukan materi berlimpah berupa uang atau benda-benda mewah, seorang relawan sesungguhnya mendapatkan banyak hal. Hal yang terutama adalah aktualisasi diri. Seorang relawan akan merasa menjadi manusia yang sesungguhnya, ketika dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi orang lain dan lingkungan hidup di sekitarnya. Berangkat dari aktualisasi diri ini, selanjutnya akan membangkitkan kebahagiaan tersendiri di dalam hidup, rasa percaya diri dan ketenangan batin.
Hal lain yang didapatkan seorang relawan antara lain adalah pengalaman dan jaringan pertemanan. Pengalaman yang didapatkan seorang relawan dapat dijadikan bekal hidup di kemudian hari. Sementara jaringan pertemanan merupakan investasi penting dalam segala hal.
Pada akhirnya, dengan semakin banyak memberikan diri sebagai relawan, seseorang akan semakin banyak mendapat. Apa yang didapatnya bukanlah materi yang dengan mudah habis tak berbekas. Hal-hal yang didapat oleh seorang relawan bersifat menetap, bermanfaat, meski tidak terlihat secara langsung dari luar. Manfaat di dalam diri itulah yang membuat seseorang mampu memaknai kehidupannya, mensyukuri segala hal di dalam hidupnya, serta melihat dunia melalui tatapan optimis.
Siapkah Anda menjadi relawan?

(Navita Kristi Astuti)


[MASALAH KITA] Suka Duka Menjadi Relawan

Jujur, pengalaman saya menjadi relawan tidaklah banyak, tapi dari pengalaman yang hanya beberapa itu kemudian saya merasa ketagihan. Mungkin terdengar agak berlebihan, tapi rasanya benar-benar ada kepuasan tersendiri ketika tahu bahwa sedikit saja bantuan kita ternyata bisa meringankan beban orang lain. Dan nyatanya tidak semua orang bisa mengerti akan situasi itu jika tidak merasakannya sendiri.
Beberapa teman dekat saya bilang “Ngapain sih kamu capek-capek kerja buat orang lain tapi gak dibayar?” Padahal sebenarnya saya mengharap sesuatu yang lain dari hanya sekedar materi. Saya ingin mendapat berbagai pengalaman dan ilmu baru, punya banyak teman baru untuk saling berbagi, bahkan kesempatan terekspos dengan segala hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Hidup itu, kan, bukan hanya tentang uang, semua ini membuat saya lebih bersyukur dan menghargai hidup.
Bagi saya, menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan menjadi relawan adalah salah satu upaya untuk aktualisasi diri selain hobi. Jika hobi hanya terkait dengan urusan di dalam diri sendiri, kerelawanan mengondisikan kita untuk berhubungan dengan orang lain. Ini penting karena manusia adalah mahluk sosial. Namun, jika siap menjadi relawan juga harus siap menghadapi cermin sosial yang berkembang di masyarakat sekitar kita. Orang-orang terdekat seperti keluarga, teman atau tetangga bisa saja memberi komentar negatif terhadap pilihan menjadi relawan. Kadang, tanggapan kurang menyenangkan juga datang dari pihak yang kita bantu secara sukarela. Tapi sepanjang niat kita baik dan tidak merugikan orang lain, terbukti selama ini saya selalu sukses dan mendapat kebahagiaan dengan menjadi relawan.
Saya masih ingat di awal tahun 2012, saya bertemu seorang bapak dari Australia bernama Chris Hindes. Beliau menuturkan bahwa, menjadi relawan telah memberikan kepuasan batin di masa tuanya, setelah di masa muda beliau sibuk menjadi pekerja kantoran sampai tidak menyadari putrinya tiba-tiba saja menjadi dewasa lalu menikah dan meninggalkan ayahnya. Cerita ini menyadarkan saya bahwa menjadi relawan itu termasuk kebutuhan tiap orang, bahkan bagi para karyawan yang bekerja dengan rutinitas.
Testimoni beberapa teman yang pernah atau masih menjadi relawan menyatakan hal yang sama dengan di atas, yaitu sebagai berikut :
“Menjadi volunteer itu menyenangkan. Karena bisa bertemu orang baru, berjumpa orang dengan pemikiran baru. Bisa mempelajari cara pandang yang berbeda maupun ilmu baru. Kita bisa ketemu orang dengan background yang berbeda, jadi bisa belajar.” Menurut Puput, seorang mahasiswi jurusan Psikologi Unpad yang aktif berkegiatan di TedX Bandung.
“Pertama jadi volunteer di tahun 2001, saya menjadi dokter pendamping ke Kalimantan. Sebenernya pada awalnya saya takut, tapi kemudian saya banyak belajar, berinteraksi dengan masyarakat asli. Apalagi wilayah kerja saya di daerah konflik. Saya jadi volunteer yang dikirim ke daerah-daerah konflik di dalam hutan. Saya rasa menjadi volunteeradalah kebutuhan manusia yang paling tinggi tingkatnya. Saya belajar ikhlas dan dengan demikian jadi bahagia. Juga, bisa ketemu temenbaru, belajar hal baru.” Tutur Desmond, seorang mantan relawan daerah konflik yang sekarang bekerja mengurus relawan di museum Asia Afrika Bandung.
Seorang teman yang juga pegiat lingkungan menuturkan, “Dengan menjadi volunteer, kita pun melakukan proses pengembangan diri. Pengembangan diri bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui outbound atau jalan-jalan. Namun, nilai tambah dari volunteeringadalah manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Daripada ikut outbound dan jalan-jalan, belum tentu bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Bahkan bisa menambah jejak karbon.” Terlihat jelas bahwa kegiatan menjadi relawan apalagi di bidang yang sesuai dengan ketertarikan akan membawa pada kesadaran dan kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Bila kita menengok Kota Bandung yang sekarang menjadi kota dengan segudang aktivitas dan acara hore-horekhas anak muda, fenomena volunterisme ikut menjadi tren seiring meningkatnya jumlah acara tersebut. Banyak yang menyayangkan bahwa “anak-anak gaul Bandung” ikut-ikutan menjadikan kerelawanan sebagai gaya hidup dengan motivasi ingin sekadar “numpang nampang”. Seperti kata seorang teman yang mengatakan bahwa, “Saya berharap makin banyak orang yang tertarik jadi relawan, karena sungguh tertarik dengan tema yang diusung. Bukan jadi relawan di mana-mana tapi tidak jelas apa yang menjadi ketertarikannya.
Persoalan maraknya “relawan eventdadakan ini juga sempat dibahas juga oleh Anilawati Nurwakhidin, seorang aktivis lingkungan dari YPBB Bandung. Dia mengatakan, “Yang lebih penting adalah semangatnya, bahwa seseorang jadi relawan karena memang dia mau, dan akhirnya tujuan jadi relawannya bisa meningkat dari yang semula ingin tahu, hingga akhirnya dia muncul keinginan untuk memperjuangkan sesuatu. Karena banyak orang yang di awal minatnya ingin nampang, tapi nggak apa-apa, orang-orang seperti itu mesti tetap difasilitasi, nanti pelan-pelan dia akan menyadari bahwa gerakan yang dia lakukan ini memang penting.” Kurang lebih saya setuju dengan pendapatnya, semua hal besar bisa dimulai dari yang kecil.
Jadi apapun motivasi dari setiap orang menjadi relawan, tidak ada salahnya untuk mencoba hal baru dan menemukan keasyikan di dalamnya. Dan dari semua orang yang saya temui dan pernah menjadi relawan, saya menyimpulkan bahwa mereka merasakan lebih banyak suka cita daripada duka lara selama malang melintang menjadi relawan. Tidak perlu wajah rupawan secantik Miss Universe, otak seencer bensin, atau sekaya Bill Gates untuk menjadi relawan, cukup dengan semangat saling berbagi, ikhlas dan mau mencoba. 
(Selly Agustina)

[OPINI] Pentingnya Relawan Bagi Gerakan Sosial

Selain organisasi dan jaringan, ada satu faktor lain yang berpengaruh bagi munculnya sebuah gerakan sosial, yakni nilai-nilai yang menggerakkan seseorang sebagai aktor gerakan sosial, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Nilai-nilai berperan memandu seseorang untuk melakukan perubahan, sekaligus menemukan kawan seiring yang mempunyai nilai-nilai yang sama. Nilai-nilai juga memengaruhi seseorang untuk menetapkan tujuan-tujuan khusus dan mengidentifikasi strategi yang secara moral bisa diterima ( Donatella Della Porta& Mario Diani, 2006 : 67).  Seseorang yang memegang teguh nilai-nilai yang diperjuangkan, akan memunculkan sikap kerelawanan dalam tindakan-tindakan sosialnya.

Kerelawanan menggerakkan seseorang untuk melakukan kerja-kerja bagi perubahan sosial dengan tulus, tanpa pamrih dan kepentingan individu. Ada tujuan-tujuan besar yang melandasi kerelawanan tersebut, seperti untuk kemanusiaan, terciptanya keadilan sosial, dan sebagainya. Beberapa gerakan mahasiswa disinyalir didorong oleh prinsip ini, karena mahasiswa dianggap belum mempunyai pamrih kekuasaan politik atau keuntungan materi. Tetapi tentu ini perlu dilihat secara lebih teliti mana saja yang benar-benar mempunyai tujuan mulia tersebut.

Relawan mengajar anak-anak korban gempa 2006, Yogyakarta
Sumber : http://www.asiapacificymca.org


Persoalan mengemuka ketika fenomena kerelawanan tidak bertahan lama. Karena, setelah lulus kuliah, berbagai orientasi lain seperti kekuasaan di bidang politik dan keberlimpahan materi pelan-pelan menggusur nilai kerelawanan tersebut. Sudah jamak kita dengar cerita tentang mantan aktivis mahasiswa yang dulunya demikian lantang menyuarakan keadilan sosial dan pentingnya kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, tapi sekarang terbenam dalam ketiak kekuasaan dan keberlimpahan materi. Jiwa kerelawanan telah menguap. Padahal, kebutuhan terhadap relawan selalu dibutuhkan sepanjang waktu.

Walau kebutuhan akan relawan terus ada, tapi relawan sekarang ini seperti spesies langka.  Organisasi-organisasi sosial tidak mudah mencarinya. Dulu, pasokan relawan maupun aktivis sosial berasal dari mantan aktivis mahasiswa, tapi kini tidak semudah dulu mendapatkannya.  Ini terkait dengan tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkader relawan di satu sisi. Sementara di sisi lain terdapat tarikan yang demikian kuat dari dunia dengan kelimpahan materi. Padahal, keberadaan relawan bagi perubahan sosial tidak bisa diremehkan.

Dalam  gerakan sosial, peran relawan menjadi demikian penting. Beberapa dari mereka terlibat dalam urusan keorganisasian dan banyak juga yang bekerja secara individual alias tidak terikat di dalam organisasi tertentu. Ini sejalan dengan pemahaman gerakan sosial sebagai arus kepedulian yang melibatkan orang atau organisasi yang diikat oleh visi untuk melakukan perubahan di masyarakat, baik nilai-nilai, struktur, adat istiadat maupun aturan-aturan yang dianggap keliru dan tidak adil. Jadi, keterlibatan dalam gerakan sosial untuk tujuan-tujuan mulia bisa dilakukan dalam organisasi maupun secara sendiri-sendiri yang terkoneksi dengan organisasi atau individu lain, yang penting ada “arus kepedulian”. Bisa saja arusnya kecil, tapi bila arus yang kecil-kecil saling terhubung bisa menjadi air bah yang “membahayakan” dalam bentuk gerakan sosial.

Relawan membantu korban bencana
Sumber foto : http://sblog-susi.blogspot.com/2011/09/penelitian-menunjukkan-relawan-lebih.html

Salah satu gerakan sosial yang didukung oleh banyak relawan yang berasal dari jaringan global adalah gerakan anti-globalisasi. Kelompok relawan tersebut melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Seattle pada November 1999, bertepatan dengan Pertemuan World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan di kota tersebut.  Banyak organisasi, relawan, individu  dari penjuru dunia terlibat dalam aksi di Seattle pada November 1999 tersebut. Gerakan ini berlanjut dengan World Sosial Forum (Forum Sosial Dunia) sebagai tandingan dari World Economic Forum (WEF) yang selama ini dianggap justru menciptakan ketimpangan dan kemiskinan di negara-negara selatan, memperkaya negara utara, khususnya para pemilik korporasi besar. Gerakan ini tidak sekedar anti terhadap globalisasi neoliberal, tapi juga memberi alternatif terhadap sistem ekonomi, politik dan kebudayaan yang adil dan lestari.

Senada dengan di muka, gerakan sosial di Indonesia, baik gerakan perempuan, lingkungan, petani, buruh, rakyat miskin kota, juga melibatkan banyak organisasi dan individu, termasuk para relawan. Gerakan ini mengalami pasang naik dan surut, ada organisasi yang terus bertahan dan ada pula yang tenggelam, sebagai dampak dari perkembangan eksternal sekaligus internal dari mereka yang terlibat dalam gerakan sosial ini. Keberadaan relawan tentu memengaruhi pasang naik dan surut organisasi sosial tersebut. Walau demikian, sudah dapat dipastikan, peran relawan tak bisa dikesampingkan dalam gerakan sosial yang terjadi di Indonesia maupun di dunia.

Relawan PMI
Sumber foto : http://sentanaonline.com/detail_news/main/707/1/12/02/2011/index.php

Tiga Peran Penting Relawan

Setidaknya ada tiga peran penting relawan dalam gerakan sosial. Pertama, relawan berperan dalam menambah energi bagi gerakan sosial.  Mereka bekerja dengan komitmen tinggi, tanpa pamrih pribadi dan memiliki daya tahan tinggi, karena dipandu oleh nilai dan visi. Jika relawan seperti ini melibatkan diri dalam sebuah organisasi, maka daya juang dan daya tahan para aktivis dalam organisasi tersebut juga akan terpengaruh, walaupun untuk keterampilan atau kompetensi belum tentu memadai. Tetapi, biasanya relawan tidak terikat lama dalam sebuah organisasi secara formal, atau dengan kata lain tidak terus-menerus terlibat dalam sebuah organisasi. Berbeda dengan staf atau aktivis organisasi.

Kedua, relawan berperan dalam menyebarkan nilai-nilai, visi dan gagasan untuk perubahan.  Relawan seperti ini biasanya bukanlah relawan pemula, tapi memang sudah terbiasa melakukan hal-hal sesuai dengan kompetensinya untuk mendukung perubahan, walau tidak terlibat dalam sebuah organisasi.  Karena, walaupun tidak terlibat dalam organisasi, relawan bisa bekerja secara individu dalam menyebarkan nilai-nilai, visi, serta gagasan melalui tulisan, media visual atau audio-visual. Melalui berbagai media tersebut, relawan ikut andil dalam peningkatan kepedulian dan kesadaran warga tentang sebuah isu, misalnya kerusakan lingkungan, kemiskinan atau epidemi korupsi. Seniman yang terlibat dengan rakyat serta intelektual organik bisa dimasukkan dalam kategori ini. 

Ketiga, relawan juga mempunyai peran dalam menggerakkan komunitas. Banyak individu-individu melebur ke komunitas akar rumput; seperti komunitas buruh, petani, rakyat miskin kota, masyarakat adat; untuk melakukan pemberdayaan. Upaya yang dilakukan misalnya meningkatkan kesadaran kritis rakyat, meningkatkan kohesi sosial dan solidaritas antar rakyat, melakukan advokasi, dan membentuk organisasi akar rumput tanpa harus masuk dalam organisasi tersebut. Peran seperti ini biasa juga disebut juga community organizer, atau ada juga yang menyebutnya penggerak komunitas. Penggerak komunitas tidak harus berasal dari luar komunitas, dia bisa berangkat  dari komunitas atau bagian dari pemilik masalah. Tapi mereka bekerja secara sukarela untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas tersebut.  

Langkah yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana tiga peran penting relawan tersebut bisa selalu ada dalam sebuah gerakan. Atau, minimal relawan dengan peran-peran seperti tersebut di muka bisa saling terkoneksi atau berjejaring. Karena perannya penting, sedangkan keberadaannya langka, maka perlu upaya-upaya ‘menciptakan’ relawan-relawan baru bagi transformasi sosial. Salah satu upaya menciptakan relawan ini bisa melalui berbagai kegiatan yang menarik bagi kalangan muda, tapi tetap dengan nilai-nilai dan visi untuk transformasi sosial. Jika upaya ini terus menerus dilakukan, apalagi dilakukan oleh banyak organisasi sosial, maka kelangkaan tersebut dapat diatasi dan proses transformasi sosial melalui gerakan sosial semakin cepat terjadi, dengan dukungan relawan-relawan yang tangguh.

Ari Ujianto
(Penulis adalah Direktur Yayasan Desantara dan Associate KAIL)

[MEDIA] Internet dan Kerelawanan


Rasanya cukup mengherankan bila anak muda masa kini tidak mengenal internet, bahkan rasanya internet telah menjadi kebutuhan atau gaya hidup manusia. Banyak hal yang disediakan oleh internet, terutama berbagai bentuk hiburan dan juga ruang eksplorasi yang tidak ada habisnya. Terlebih setelah media jejaring sosial muncul, seperti Friendster, Facebook, Twitter, dll. Semuanya itu menjadi daya pikat yang menyita waktu banyak orang untuk berkutat di dunia cyber tanpa pernah bosan.

Internet mulai bertindak seperti “warung serba ada” yang menyediakan apa pun bagi orang-orang yang mencari sesuatu. Segala hal yang dapat diubah ke dalam bentuk digital akan tersedia, terlebih semenjak fasilitas mesin pencari seperti Google muncul, pencarian informasi melalui internet semakin mudah untuk dilakukan.

Kerelawanan adalah salah satu topik yang bisa dicari di dalam dunia internet, seiring dengan adanya kebutuhan untuk mencari kegiatan dan juga nilai-nilai sosial yang ada di dalam diri setiap orang untuk berbagi. Kini orang-orang semakin mudah untuk mencari  kegiatan-kegiatan yang membutuhkan relawan, bahkan katakanlah semakin mudah untuk menjadi relawan.

Dalam situs http://www.worldvolunteerweb.org/dipergunakan istilah online volunteering, yang merujuk kepada kegiatan kerelawanan berbasis komputer dan internet. Mereka memaparkan bahwa kegiatan online volunteering memberikan ruang baru bagi kegiatan kerelawanan di organisasi, kemampuan dan bakat, serta basis relawan yang baru. Online volunteering ini juga membantu mempromosikan organisasi dan misi mereka kepada khalayak yang lebih luas.







Beberapa kegiatan online volunteering yang dipaparkan di dalam www.worldvolunteerweb.orgdi antaranya adalah :
  • Penelitian
  • Penerjemahan
  • Desain web
  •  Analisis data
  • Pembangunan database
  • Menulis proposal
  • Editing artikel
  • Mentoring online
  • Desain publikasi
  • Moderasi kelompok diskusi online



Kegiatan-kegiatan tersebut tidak membutuhkan pertemuan secara langsung dan bisa dilakukan dengan adanya fasilitas komputer dan internet. Dengan demikian, mereka yang memiliki keterbatasan waktu dan transportasi dapat menyalurkan kebutuhan untuk menjadi relawan dengan bentuk kegiatan tersebut.


Internet telah memperluas bentuk kegiatan kerelawanan dan menjadi sebuah bentuk pelengkap bagi kerelawanan di lapangan (onsite). Kegiatan kerelawanan online seperti ini sudah ada di Indonesia, khususnya di Bandung, salah satunya YPBB yang secara berkala membuka ruang untuk menjadi relawan penterjemah.

Sumber : dokumen YPBB


Gambar di atas merupakan informasi kegiatan kerelawanan onlineyang ditawarkan oleh YPBB dengan mempromosikannya melalui Facebook. Kegiatan kerelawanan online yang ditawarkan masih cukup terbatas, menurut pengakuan Anilawati Nurwakhidin, dikarenakan YPBB masih memfokuskan diri untuk membangun sistem di internalnya. Sejauh ini, kegiatan yang berhubungan dengan relawan adalah menjaga relasi dengan mereka, berupa sapaan di media jejaring sosial. Selain Facebook, YPBB juga memiliki blog dan Twitter yang memiliki fungsinya masing-masing. Secara khusus, blog difungsikan sebagai media pendaftaran bagi para calon relawan, sepanjang tahun 2012 (sampai dengan Agustus 2012) tercatat ada sekitar 200 orang yang mendaftar.



Contoh yang lain adalah Yappika (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia), yang menawarkan skema kerelawanan online (dapat dilihat di http://yappika.or.id/media/Skema_relawan_online.pdf) dengan beberapa ruang kegiatan sebagai berikut :

  • Penerjemahan bahasa Indonesia-Inggris , Inggris-Indonesia
  • Searching isu untuk mendukung kegiatan riset, advokasi kebijakan dan kampanye
  • Desain dan layout produk cetak maupun cenderamata
  • Memberikan dukungan petisi atas suatu isu yang sedang digulirkan
  • Menyebarluaskan informasi
  • Memberikan dukungan berupa opini dalam sebuah artikel
  • Memberi saran dan masukan melalui email atau pada kolom ‘interaktif’ di situs Yappika
  • Memberikan donasi
-        
Skema ini mulai ditawarkan semenjak tahun 2006, sebagai pengembangan dari  skema kerelawanan onsite yang digarap secara serius pada tahun 2003. Dengan adanya kerelawanan online ini, Yappika mengatasi kendala geografis bagi mereka-mereka yang ingin terlibat dalam kegiatan Yappika.

Internet dalam beberapa tahun terakhir di satu sisi telah menunjukkan manfaatnya dalam memperluas ruang bagi orang-orang dalam kegiatan kerelawanan. Sebagaimana sebuah penelitian yang dilakukan oleh Molly O’Rourke dan Greg Baldwin pada tahun 2004[1]terhadap situs www.volunteermatch.org tentang bagaimana internet telah mengubah kerelawanan.

Situs VolunteerMatch.org merupakan situs yang menyediakan layanan bagi para calon relawan untuk menemukan ruang kerelawanan dan bagi organisasi-organisasi non-profit untuk menemukan relawan yang tepat untuk organisasi mereka. Penelitian ini melibatkan sebanyak 1122 orang pengguna VolunteerMatch.org dan 996 organisasi non-profit.

Dari penelitian ini salah satu temuannya adalah organisasi non-profit menganggap kekuatan internet sebagai strategi rekrutmen relawan merupakan yang terbaik nomor 2 setelah penyampaian lisan. Kekuatan internet semakin menguat setelah teknologi mampu membuat alat komunikasi portabel yang terhubung dengan internet, lihat saja ponsel-ponsel yang memiliki akses internet dengan biaya terjangkau. Hal ini berdampak pada penggunaan internet yang melampaui batas ruang dan waktu, orang-orang bisa terhubung kapan saja dengan internet.



Dari penelitian tersebut, kita dapat melihat bagaimana orang-orang (baik pihak relawan maupun organisasi pengguna) menjadi semakin mudah untuk menemukan apa yang mereka butuhkan. Para calon relawan lebih gampang menemukan isu spesifik yang menjadi preferensi, sementara organisasi pengguna lebih mudah menemukan relawan sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan.

Bidang kerelawanan yang paling banyak digeluti oleh para relawan adalah bidang anak-anak dan orang muda, diikuti dengan bidang satwa. Selain itu, dari segi jenis kelamin, 84% dari pengguna situs adalah perempuan. Sedangkan dari segi usia, 50% pengguna berusia di bawah 30 tahun. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa minat kerelawanan lebih banyak terdapat pada perempuan muda.


Tentunya hasil dari penelitian ini tidak dapat dikatakan bersifat umum, tapi kita dapat mengambil inspirasi untuk diadaptasi dan diterapkan di dalam organisasi masing-masing. Setidaknya penelitian itu mengantarkan kita pada eksplorasi yang masih terus berlangsung terhadap fungsi dan peran internet dalam kerelawanan. Di Indonesia, mungkin kesadaran untuk memanfaatkan internet dalam kerelawanan belum begitu tinggi, pandangan ini diamini oleh Anilawati Nurwakhidin. Namun hal ini justru menunjukkan besarnya potensi pemanfaatan internet untuk kerelawanan di waktu yang akan datang. Bagaimanapun juga, internet tidak berarti menggantikan pertemuan tatap muka, dalam bahasan ini, online volunteering tidak bermaksud menggantikan onsite volunteering. Kedua kegiatan itu saling melengkapi dan diperlukan untuk mendukung kinerja organisasi dalam mencapai visi-misi.    
(David Ardes Setiady)


[1] Dari The Journal of Volunteer Administration - How the Internet has Changed Volunteering: Findings from a VolunteerMatch User Study, Vol.22, No.3, 2004

[TIPS] Kesuksesan Seorang Relawan

Sumber foto : http://www.heartsofvolunteers.blogspot.com/


Relawan adalah profesi yang sangat mulia dimana dia meluangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan uangnya untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial. Adanya relawan akan membantu terciptanya visi, misi, dan tujuan bersama suatu lembaga atau kelompok tertentu. 

Beberapa waktu yang lalu, saya menyebarkan kuesioner onlinekepada pada 100 orang[1], untuk mengidentifikasi peran relawan, dimana terkumpul sejumlah 100 orang responden. Dari keseluruhan responden tersebut, 66 orang pernah menjadi relawan dan 34 orang belum atau tidak pernah menjadi relawan. Oleh karena itu, kami mengasumsikan bahwa  kelompok individu yang menjawab kuesioner yang disebar secara acak ini sebagian besar adalah relawan. 

Dari hasil jawaban kuesioner, terdapat banyak sekali latar belakang motivasi dari masing-masing individu ini untuk menjadi relawan. Kebanyakan dari mereka memiliki inisiatif sendiri untuk berperan sebagai relawan. Selain itu, faktor passion dalam diri juga memiliki porsi besar dalam menentukan pilihan hidup sebagai relawan. Passion memiliki peran penting dalam menentukan seseorang memilih suatu kegiatan kerelawanan. Setiap orang memiliki passion-nya masing-masing. Banyak kegiatan, banyak relawan, banyak ide, banyak inspirasi. Dari 66 orang yang pernah menjadi relawan, 55 orang telah ikut kegiatan kerelawanan lebih dari dua kali. Ini artinya menjadi relawan itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan menjadi sarana untuk refreshing dari aktivitas sehari-hari.

Pelayanan yang baik akan membuat sang relawan kembali berkegiatan di lembaga atau kelompok yang sama. Hal ini juga akan memberikan kesempatan kepada relawan untuk menggali potensi diri. Pelayanan yang baik, kegiatan yang bermanfaat, hubungan informal yang asyik, akan memberikan kesan positif pada relawan. Kesan positif ini pasti akan terus menyebar. 

Semua sepakat bahwa relawan punya peran penting dalam menyukseskan program. Tanpa relawan, bisa jadi program itu tidak sukses secara internal maupun eksternal.  Pentingnya recognition dan rewardyang diberikan kepada relawan mencerminkan bentuk ucapan terima kasih yang diberikan oleh sang pemilik acara. Bentuknya bisa apapun, tidak ada standar yang baku. Bahkan, bentuk komunikasi informal menjadi bentuk reward yang berharga. 

Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk recognition dan reward, maka saya membuat suatu project buku bernama “Hearts of Volunteers” yang bertujuan memfasilitasi relawan-relawan untuk berbagi kepada orang banyak. Mungkin tidak banyak tempat untuk berekspresi dan berbagi kepada orang banyak tentang betapa berharganya relawan. 

Tidak ada kriteria yang mendefinisikan kesuksesan seorang relawan. Umumnya seorang relawan itu bekerja dengan hati dan tidak mengejar kesuksesan dalam berkontribusi. Tidak ada relawan yang menyebut dirinya sukses. Kontribusi yang diberikan oleh relawan akan memiliki dampak jika dirasakan oleh orang lain. Orang lain itulah yang merasakan apa yang relawan lakukan. Oleh karena itu, 'kesuksesan' seseorang dalam menjadi relawan, sesungguhnya terletak pada dampak yang dirasakan orang lain atau lingkungan tertentu dimana sang relawan berkecimpung. 

Apa yang bisa kita lakukan untuk menjadi relawan adalah bekerja dengan hati, sesuai passion, dan ikhlas. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain kebahagiaan dari orang yang kita bantu. Banyak pengalaman hidup yang akan kita dapatkan  dengan menjadi relawan. Kita sendiri yang lebih tahu diri kita dan apa yang bisa kita kontribusikan untuk membantu orang lain. 


Sejak bergabung sebagai relawan di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), banyak sekali info mengenai tawaran menjadi relawan di berbagai lembaga ataupun komunitas. Sahabat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Berbuka Sambil Ingat Lingkungan 2011, Save Babakan Siliwangi, Kampanye Nasional Diet Kantong Plastik, Forum Hijau Bandung, dan masih banyak kegiatan lainnya yang memberikan kesempatan bagi saya dalam menambah wawasan mengenai lingkungan. Inilah manfaat dari berjejaring sebagai relawan. Kita akan mengenal lebih banyak orang dengan latar belakang dan karakter yang bermacam-macam. Sungguh tidak akan rugi menjadi relawan. Relawan memang tidak dibayar, tetapi mereka justru mendapat banyak manfaat ketimbang materi.


Rahyang Nusantara
Penulis adalah “Volunteer of the Year 2011” versi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB). Penulis juga sedang mengerjakan project buku “Hearts of Volunteers”. Buku yang rencananya berisi kumpulan cerita dari 24 relawan. Info detail kunjungi http://www.heartsofvolunteers.blogspot.com



[1] hasil bisa saja berbeda pada kelompok tertentu 

[JALAN-JALAN] Menengok Dapur Relawan YPBB

Sejak pertama kali didirikan, YPBB sebagai organisasi non-profit berbasis relawan, melibatkan banyak peran relawan hampir di dalam setiap kegiatannya. Mereka yang jadi garda depan YPBB ini mendedikasikan waktu dan tenaganya, bahu membahu merealisasikan cita-cita bersama tentang kualitas hidup manusia yang baik, dengan memperbaiki kualitas lingkungan alamnya. YPBB melihat ini sebagai satu dari beberapa titik kampanye hidup organis yang sejalan dengan visi dan misi YPBB. Karena itulah Divisi Relawan dibentuk.  Saat ini divisi relawan YPBB dikelola oleh dua orang staf dengan total jumlah rata-rata jam kerja sebesar 40 jam efektif/bulan.

Dokumen YPBB
Pertemuan Relawan untuk Revisi Katalog Diet Karbon, bertempat di selasar kampus ITB



Bagi YPBB, relawan bukan sekedar orang-orang tambahan yang membantu lancarnya kegiatan. Mereka adalah mitra utama dalam pencapaian visi dan misi YPBB. Sementara bagi relawan, banyak manfaat yang mereka dapatkan dengan berkegiatan bersama YPBB. Dari mulai mendapatkan kesempatan penyaluran kepedulian terhadap lingkungan hidup secara efektif sesuai minat, kemampuan, dan waktu yang dimiliki, kesempatan pengembangan kapasitas diri dalam usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, kesempatan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang satu visi tentang lingkungan hidup dan ikut serta dalam kegiatan seru yang bermanfaat.

Dokumen YPBB
Para relawan peserta uji coba pelatihan pemanasan global, kantor Cigadung
Dokumen YPBB
Para relawan di pameran Envirovolution, Lapangan Kampus ITB, Bandung

YPBB berperan sebagai penyelenggara kegiatan dan menjamin relawan dapat mengontribusikan yang terbaik dari tenaga dan waktu yang telah disediakannya. YPBB akan menangani segala urusan administrasi, operasional dan konseptual.

Beberapa layanan yang diberikan oleh YPBB kepada berupa pendaftaran melalu media online: dan offline. Informasi kegiatan secara berkala melalui berbagai media seperti: pertemuan rutin relawan, email, situs jejaring sosial (facebook, twitter dan blog) dan SMS (Short Message Service). Juga diberikan fasilitas pelatihan untuk menunjang efektivitas berkegiatan. Layanan pencatatan berbagai aktivitas relawan juga diberikan sebagai salah satu bentuk rekognisi. Catatan tersebut akan dikompilasi dan didokumentasikan dalam bentuk sertifikat. Pembagian sertifikat biasanya dilakukan setahun sekali pada pertemuan relawan tahunan.     Untuk peranan relawan tertentu, dibuatkan juga surat kesepakatan kerja sama antara YPBB dengan relawan. Pada kegiatan yang intensitasnya relatif tinggi dan menuntut tanggung jawab, relawan bisa mendapatkan dukungan dana transportasi. Dalam setiap kegiatan, YPBB senantiasa berupaya menyediakan konsumsi bagi para relawan. Bentuk fasilitas konsumsi pada setiap kegiatan didasarkan pada waktu dan durasi kegiatan, serta alokasi dana yang sudah ditentukan dalam kegiatan tersebut.






Dokumen YPBB
Seorang relawan mendemonstrasikan pembuatan kertas daur ulang, di Taman Cilaki, Bandung

YPBB dalam setahun terakhir ini (2011-2012) melibatkan relawan dalam aneka kegiatan YPBB sebagai relawan notulis, tim kampanye #ZeroWaste (salah satunya relawan trainer), relawan reporter, relawan EO (dokumentasi, konsumsi, peralatan). Perkembangan teknologi sekarang membantu menjembatani peran relawan yang tidak dapat hadir secara fisik dalam kegiatan namun sangat ingin ikut terlibat dalam kegiatan YPBB seperti pada program kegiatan relawan penerjemah.

Dokumen YPBB
Para relawan YPBB mendata ATK kantor yang dapat digunakan kembali

Perkembangan jaman menjadi salah satu tantangan yang dialami oleh tim YPBB relawan dalam membangun dan memelihara jaringan relawan ini. Dimana saat ini pola kegiatan kerelawanan sudah jauh berbeda dibandingkan dengan awal YPBB dibangun. Tantangan lainnya adalah berbagi visi pengelolaan relawan dengan staf divisi lain. Kami menjawabnya dengan penyediaan SOP pengelolaan relawan dan juga merutinisasi SOP tersebut.

Kreatif dan inovatif! 

Itulah kunci dari pengelolaan progam relawan YPBB sehingga relawan dapat mengkontribusikan yang terbaik dari tenaga dan waktu yang telah disediakannya. Tentunya menuju pencapaian visi YPBB.

Tertarik untuk menjadi relawan YPBB:
Info tentang YPBB:
Twitter: https://twitter.com/ypbbbdg

(Oleh : Anilawati Nurwakhidin dan Tim YPBB)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...