Editorial Pro:aktif April 2017

Selamat berjumpa kembali di Pro:aktif Edisi April 2017 ini. Sudah 4 bulan perjalanan waktu kita di tahun 2017, dengan berbagai peristiwa yang terjadi, baik di sekitar kita maupun di dunia. Edisi kali ini, Pro:aktif Online mengangkat tema “Mengenal Diri Bagi Aktivis”.
Proses mengenal diri merupakan proses yang tidak berujung dan terjadi pada siapapun juga, tak pandang usia, jenis kelamin, apalagi pekerjaan dan jalan hidup. Seorang aktivis sekalipun tidak terlepas dari proses mengenal diri, baik yang disadari maupun yang berlalu begitu saja. Terlebih berbagai bidang kerja dan layanan yang diberikan oleh seorang aktivis, memerlukan pengenalan diri yang bisa membuatnya bertahan pada isu yang dikerjakan atau malah menemukan “panggilan hidup” yang selama ini dicari. Proses mengenal diri bukan berarti bahwa sebelumnya kita tidak kenal “siapa diri kita”, melainkan mempertanyakan kembali, sejauh mana kita mengenal dan memahami diri sendiri.
Edisi April 2017 ini mencoba mengupas berbagai sudut pandang yang  disajikan oleh para kontributor penulis Pro:aktif Online, yang diawali dengan rubrik PIKIR yang diisi oleh Umbu, yang akan membawa kita pada masa lampau dimana dua orang pangeran beda kebangsaan, yakni Hamlet dan Diponegoro disandingkan. Rangkaian kata yang disusun oleh Umbu mengajak kita untuk menemukan diri di pusat keberadaan, dengan metafora bahwa kitalah sang penyair yang mewujudkan eksistensi kita dengan sajak kehidupan yang menyelami seluruh sisi kehidupan agar indera kita semakin tajam menyerap realitas di sekitar kita.
Rubrik PIKIR yang kedua, ditulis oleh penulis yang sama. Kali ini Umbu mengetengahkan sebuah upaya untuk mengingatkan kita bahwa berpegang pada nilai-nilai perikemanusiaan berarti melepaskan diri dari berbagai label yang melekat. Melalui tokoh Raden Mas Minke, kita diingatkan soal realita kehidupan yang selalu berpotensi melahirkan penindasan karena dinamika kekuasaan antar kelas. Siapapun yang terbangun dan terpanggil untuk membela nilai-nilai perikemanusiaan tersebut, berempati pada kaum tertindas, berjuang karena memang “sudah sepantasnya saya berjuang”. Di sini, Umbu juga mengingatkan kita pada siapa Raden Mas Minke sebagai tokoh sejarah yang dilupakan oleh bangsa Indonesia.
Rubrik OPINI menghadirkan tulisan dari Anastasia Levianti yang dalam setiap baris tulisannya adalah proses refleksi itu sendiri, mencoba menyadarkan kita betapa pentingnya proses tersebut bagi seorang aktivis. Pilihan-pilihan atas isu yang dikerjakan, kepedulian atas isu sosial, maupun sumber stres pada bidang pekerjaan saat ini dapat ditemukan dengan menempatkan diri sebagai sumber masalah yang sekaligus juga sumber solusi. Rutinitas yang dijalani tanpa menyadari tujuan dari aksi yang dilakukan berpotensi menyesatkan seorang aktivis yang  kemudian bisa terjebak pada mengutamakan sarana, ketimbang tujuan yang hendak dicapai. Refleksi diri diharapkan menjernihkan kembali, mana yang sesungguhnya sarana dan mana yang menjadi tujuan yang seharusnya dilayani oleh sarana tersebut.
Rubrik MASALAH KITA yang ditulis oleh Siska mengulas konsep diri sebagai pusat refleksi, dimana apa yang ada di dalam pikiran kita  kemudian diwujudkan pada aksi-aksi yang dilakukan di dunia nyata. Konsep diri akan membantu kita membentengi diri dari persoalan-persoalan yang tidak perlu karena kita mengenal dan menerima batasan / kelemahan diri pada isu yang dikerjakan atau aksi yang dijalankan. Proses refleksi tidak dimaksudkan untuk meniadakan kelemahan, namun justru memampukan kita untuk memahami bahwa adanya kelemahan tersebut menjadi alarm ketika kita sudah melewati batas dan perlu menarik diri. Di samping itu, penguatan konsep diri tidak selalu tentang refleksi ke diri sendiri namun juga bercermin pada jalan hidup tokoh-tokoh dunia yang telah tertuang pada buku otobiografi.
Rubrik PROFIL kali ini, ada Alvieni Angelica yang mengajak kita berkenalan dengan Capacitar, sebuah organisasi nirlaba yang terbentuk di bumi Amerika Latin oleh seorang biarawati bernama Sr. Mary Hartmann, CSA. Capacitar memiliki tujuan utama memberdayakan manusia dalam aspek self-healing atau daya penyembuhan diri. Capacitar meyakini bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh kehidupan secara holistik. Penyakit-penyakit pada manusia seringkali timbul karena oleh trauma maupun luka batin yang belum tuntas.  Metoda penyembuhan yang menyerap dan mengadaptasi berbagai teknik tradisional dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan modern kemudian dibagikan kepada siapapun yang membutuhkan, untuk mendorong semakin tersebarnya pengetahuan tersebut.
Rubrik MEDIA, ditulis oleh Any Sulistyowati, memberikan perspektif lain tentang dunia internet yang justru sangat bermanfaat untuk membuat kita semakin kenal siapa kita. Terbukanya informasi dan pengetahuan secara bebas, berdampak pada semakin mudahnya kita mengakses ilmu psikologi populer dan bermanfaat. Berbagai tes pemetaan kepribadian, mulai dari yang sudah cukup dikenal seperti Personality Plus dan MBTI, hingga Eneagram akan membantu kita mengidentifikasi “tipe kepribadian apakah saya?”. Dengan bantuan internet, hasil tesnya bisa langsung dilihat disertai penjelasan yang cukup mudah untuk dipahami.
Rubrik JALAN-JALAN pertama dipandu oleh Debby Josephine yang akan membawa para pembaca pada beberapa tempat asyik di kota Bandung yang kiranya tidak terduga, namun bisa membuat Anda semakin mengenal diri Anda. Menjelajah tempat-tempat tersebut tidak dapat dipisahkan dari aktivitas yang sebaiknya Anda lakukan sembari berada di tempat tersebut.
Rubrik JALAN-JALAN kedua ada Yanti Herawati yang menjadi pemandu Anda menjelajah di suatu wilayah Bumi Parahyangan yang juga tidak terduga. Sebuah areal yang mungkin tidak akrab di telinga Anda, namun penjelajahan yang semakin dalam akan membuat segalanya menjadi tidak asing lagi. Memilih sebuah jalur perjalanan yang tidak biasa, mungkin akan membawa keraguan pada diri Anda, yang kemudian akan terkikis seiring dengan penemuan diri di perbatasan laksana tepi tebing yang siap membuat Anda terjun bebas semakin dalam pada diri sendiri.
Rubrik TIPS menghadirkan Dyah Synta, seorang guru yoga yang membagikan tips melakukan gerakan (asana) yang bisa membawa kita pada relaksasi serta menjadi proses pengenalan diri melalui penghayatan atas bentuk-bentuk asana yang kita lakukan. Yoga sungguh adalah tentang diri sendiri, karena kita tidak melakukannya untuk dilihat dan dinilai oleh orang lain, melainkan sebuah bentuk komunikasi diri kita yang lainnya , seperti pemikiran, perasaan, dan energi.
Rubrik RUMAH KAIL kali ini mengajak para pembaca berkeliling dari perspektif seorang Melly Amalia dalam menjelajah diri melalui salah satu bagian Rumah Kail. Tidak hanya bangunan fisik dari rumah tersebut, namun juga dari kegiatan-kegiatan yang telah menjadi satu bagian dari rumah itu sendiri. Di manakah Anda akan menemukan spot yang nyaman untuk berefleksi di Rumah Kail?
Akhir kata, semoga para pembaca semakin mengenali diri sendiri melalui artikel-artikel yang ada pada edisi “Mengenal Diri Bagi Aktivis”. Kiranya hidup aktivisme kita semakin positif melalui refleksi.

Selamat menemukan diri.

[PROFIL] SEJARAH DAN PERKEMBANGAN CAPACITAR

Berbagai peristiwa hidup yang tidak bisa diduga seringkali membawa dampak psikologis yang beragam bagi setiap orang. Keunikan karakter, struktur perkembangan otak, dan sejarah bagaimana seseorang dibesarkan mempengaruhi tingkat resiliensi atau daya lenting seseorang dalam menghadapi berbagai tekanan hidup. Gaya hidup serba cepat, penuh kompetisi, individualis, serta minimnya hubungan sosial karena kemajuan teknologi tanpa disadari telah menjadi makanan sehari-hari setiap orang. Selain itu, kondisi alam yang tidak stabil saat ini juga berkontribusi menghadirkan berbagai bencana, seperti banjir dan gempa bumi. Belum lagi para penguasa (pemerintah) di berbagai negara yang kerap membuat ancaman perang selalu siaga di depan mata. Paduan kondisi hidup ini membuat manusia semakin rentan terhadap masalah psikologis yang lama kelamaan bertransformasi menjadi sakit fisik dan ketidakmampuan untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Sementara itu, tenaga psikolog meupun kesehatan mental lainnya sangatlah terbatas. Berkaca pada situasi ini, maka sangatlah penting untuk bisa membekali masyarakat di mana saja dengan kemampuan untuk membantu diri mereka sendiri, salah satunya ialah dengan memberikan pembekalan teknik-teknik penyembuhan diri (self-healing) yang praktis dan menembus batas budaya, bahasa, agama dan pendidikan yang dikenal sebagai karya Capacitar.
Capacitar yang berarti pemberdayaan (to empowerment) dalam Bahasa Spanyol merupakan sebuah organisasi nirlaba yang hadir guna memenuhi kebutuhan di atas. Bermula dari tahun 1980-an yaitu tahun-tahun perang di Amerika Tengah, Sr. Mary Hartmann, CSA; seorang anggota dari Nicaraguan Human Rights Commission, mengundang Patricia Cane (panggilan akrabnya “Pat”) untuk berbagi teknik perawatan kesehatan mental diri pada sebuah festival seni rakyat. Pada festival tersebut, Pat yang selalu berlatih Tai chi dan akupresur untuk merawat dirinya sendiri, Mary berkata “Wah, yang kamu lakukan itu luar biasa, kapan kamu mau mengajarkan itu semua kepada kita cara melakukannya?” Mary secara intuitif mengenali nilai dari praktek perawatan diri yang kuno tersebut untuk menolong orang-orang ketika mereka harus berhadapan dengan kekerasan dan trauma dalam hidup mereka. Melalui insight Sr. Mary itulah, Capacitar lahir. Dari orang-orang akar rumput di Nicaragua, lahirlah kata Capacitar – sebuah kata kerja Spanyol yang berarti memberdayakan, mendorong, membawa hidup – yang selanjutnya menjadi nama organisasi dan semangat perubahan. Dari Cantera;  sebuah pusat di Nicaragua, lahirlah metode pendidikan populer hasil kerja seorang Brazil; Paulo Freire. Melalui pendidikan popular, orang-orang ‘terbangun’ untuk mengenali kebijaksanaan dan harapan dalam diri mereka. Merekalah yang selanjutnya meneruskan lagi kepada orang banyak apa yang sudah mereka dapatkan. Capacitar mengadaptasi metode yang digunakan oleh Fraire ini untuk ‘membangkitkan’ kesadaran tubuh, mengintegrasikan keterampilan terkait tubuh, pikiran dan jiwa guna memberdayakan banyak orang menyembuhkan diri mereka sendiri sehingga mereka mampu untuk menjangkau dan mentransformasikan juga orang-orang di sekitar mereka.


PDSR 1702 0006 - Teknik self-healing berpasangan dengan metode pemijatan titik-titik akupresur
Tahun-tahun awal, workshop pertama di Amerika dan dikenal sebagai Healing Tent diadakan bagi rekan-rekan di Guatemala yang bersinggungan dengan kekerasan dan ancaman kematian di awal tahun 1990-an. Mereka meminta adanya workshop untuk relaksasi untuk membantu mengatasi kondisi psikologis mereka. Selanjutnya menyebar ke Chile dan di saat ini pula, Capacitar mulai menyusun manual workshop-nya untuk pertama kali dalam Bahasa Spanyol. Tahun 1993, Capacitar mulai diundang ke El Salvador untuk berkoordinasi dengan Healing Tent bagi Feminist Congress  di Amerika Latin dan Karibia. Seiring berjalannya waktu, tahun 1994 mulai menjadi sebuah badan hukum sebagai organisasi nirlaba. Tahun 1995, tim Capacitar dari 12 negara terdiri dari 25 orang wanita pergi ke negeri Tiongkok untuk mengkoordinasikan penyelengaraan Healing Tent bagi NGO World Forum on Women, dalam kolaborasi dengan Chinese Medical and Traditional Medical Associations. Selanjutnya karya Capacitar menyebar di Amerika menjangkau Peru, Bolivia, Brazil, Columbia dan Mexico.
Ketika Hurricane Mitch meluluhlantakkan Amerika Tengah tahun 1998, Capacitar mulai beralih fokus. Co-directors Joan Condon dan Patricia Cane dijadwalkan untuk bekerja di Honduras saat badai terjadi. Ketika mereka tidak bisa tiba sesuai waktu yang mereka janjikan, mereka menjanjikan akan kembali mengunjungi Honduras setelah hurricane berakhir. Namun, hurricane berlangsung hingga 8 hari dengan terjadinya banyak kematian dan kerusakan infrastruktur. Guna menanggapi kejadian ini, Patricia Cane mengubah fokus penelitian doktoralnya kepada studi penyembuhan trauma dan dampaknya terhadap tubuh, pikiran dan jiwa dari para orang yang mengalami trauma akibat Hurricane Mitch dan kekerasan politik. Buku manual Trauma Healing and Transformation merupakan hasil dari penelitian ini. Sejak itu, trauma healing menjadi hal yang selalu dikerjakan Capacitar dengan pemahaman yang lebih jelas terhadap proses, metode dan pendekatan lintas budaya sebagai bagian dari pendidikan popular yang menjadi pendekatan Capacitar untuk menyembuhkan trauma khususnya di kalangan masyarakat akar rumput.
Panggilan Capacitar selanjutnya datang dari Timor Leste yang baru saja mengalami kehancuran masif akibat voting kemerdekaan dari Indonesia. Tahun 2001, Joan Condon dan Mary Litell, OSF pergi ke Timor Leste untuk bekerja bersama para keluarga, tawanan serta para yatim piatu. Ditambah lagi dengan adanya bom Bali, Capacitar memperpanjang jangkauannya ke Indonesia dan setelah tsunami serta gempa bumi yang dahsyat, Capacitar memberikan tranining juga di berbagai wilayah dan zona konflik. Menyambung karyanya di Indonesia, Mary Litell dan Patricia Cane mendapat kesempatan lagi untuk berkiprah di Afrika; Tanzania dan Kenya dimana banyak penderita AIDS yang menjadi peserta dalam workshop Capacitar. Semakin banyaknya tempat bagi Capacitar untuk berkiprah, semakin besarlah komitmen Capacitar dalam mengatasi PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) dan CTSD (Continuing Traumatic Stress Disorder). Komitmen yang besar ini dituangkan dalam bentuk pelatihan bagi multiplier di berbagai negara, manual Capacitar for Kids, emergency kits yang bisa diunduh dari website Capacitar.
Berbagai teknik Capacitar diadopsi dari berbagai negara, seperti Tai Chi (Cina) , Pal Dan Gum (Cina dan Korea), Finger Holds (Jepang-Jin Shin Jyu Tsu), Accupressure, The Holds, Polaritas, Pain Drain, dan lain sebagainya merupakan teknik-teknik yang bekerja pada modalitas tubuh. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja otak manusia dimana otak emosi memiliki hubungan langsung dengan tubuh, namun sebaliknya otak emosi hanya kecil kemampuannya untuk bisa dipengaruhi oleh otak Bahasa (rasio). Dengan demikian, bekerja langsung dengan tubuh para korban trauma dan stres yang berkepanjangan merupakan cara yang cukup efektif untuk memberi kemampuan kepada tubuh melakukan relaksasi. Ada yang mengatakan bahwa mempelajari Tai Chi Capacitar memampukan mereka untuk lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak menjadi pribadi yang reaktif terhadap berbagai peristiwa. Pain Drain beberapa kali pernah diceritakan mampu untuk meringankan penderitaan orang yang sakit. Finger Holds membantu orang untuk melepaskan emosi yang selama ini ter-block baik karena larangan untuk menangis, ketakutan akan hukuman yang lebih parah ketika mengekspresikan emosi dan sebagainya. Emosi-emosi yang bisa tersalur dengan baik akan mengurangi kemungkinan seseorang mengalami sakit fisik atau bagi mereka yang telah mengalami sakit fisik, saluran emosi yang baik mampu meringankan rasa sakit di fisik. Semuanya ini menjadi bukti betapa erat kaitan emosi dan tubuh. Kepraktisan yang terkandung di dalam berbagai teknik ini juga membuatnya mudah untuk dipelajari siapa saja bahkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan sekalipun.


PDSR 1702 0004 - Berlatih Pal Dan Gum bersama-sama dengan Capacitar di Rumah KAIL
Di Indonesia sendiri, saat ini, penyebaran Capacitar mulai lebih menjangkau ke berbagai kota sejak diadakannya training kedua multiplier. Kira-kira lebih dari 15 orang multiplier cukup aktif untuk meneruskan karya Capacitar ke berbagai kalangan dengan pesan untuk meneruskan lagi pengetahuan yang mereka peroleh kepada siapapun yang membutuhkan. Telah cukup banyak orang-orang yang merasa terbantu dengan melakukan latihan rutin dari teknik-teknik Capacitar. Banyaknya teknik membuat tiap orang bisa memilih sendiri teknik mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Di dalam era yang penuh dengan persaingan politik dan sebaran isu SARA yang mengkhawatirkan, sangatlah bermanfaat apabila siapapun yang sudah pernah mengenal Capacitar, mengetahui beberapa tekniknya dapat membagikannya kepada siapapun yang membutuhkan. Bukan kesempurnaan gerak dan teori yang penting dalam Capacitar, namun kesediaan untuk berbagi dan hadir sepenuhnya bagi orang lain menjadi kunci yang membuat teknik-teknik Capacitar bisa memberikan perdamaian dalam diri orang-orang yang mengenalnya. Damai dalam diri adalah titik awal perwujudan damai di dunia. Saat ini, apabila para pembaca memiliki ketertarikan untuk mengenal lebih jauh mengenai Capacitar dan memiliki kelompok kecil yang ingin belajar teknik penyembuhan diri bersama, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui Kail.
Makna Logo Capacitar


C:\Users\user\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\Capacitar.jpg
Desain logo Capacitar berasal dari pre-Colombian berupa lotus, sebuah simbol pencerahan di banyak budaya. Gambar ini menyimbolkan kembalinya manusia pada kehidupan – berakar pada energi di bumi dengan tangan merentang yang menjangkau energi dari surge, tangan yang menyatu dalam solidaritas di seluruh dunia dan benih kehidupan yang berkembang di dalamnya seperti janin.


Situs resmi Capacitar adalah : www.capacitar.org .

[PIKIR] MENJALANKAN PERIKEMANUSIAAN

Oleh: Umbu Justin

… ia menyewa taksi ke Bandung dan minta diturunkan di jalan Braga. Hari sudah malam. Ia meninjau-ninjau dan mengintip-ngintip ke dalam kantor redaksi Medan. Tak seorang pun dikenalnya. Ia ragu-ragu untuk masuk, juga tidak berusaha untuk bertanya. Kemudian ia pergi berjalan kaki….

Seperti burung patah sayap ia berjalan merasuk, memasuki sebuah dangau kosong di pinggir jalan … ia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Betapa kedekut Tanah Air dan bangsanya pada dirinya. Di Hindia ini betapa orang mudah melupakan, seperti tulang- belulang paling keras pun, rapuh melenyap oleh kelembapan tanah tropis…

(Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer)

—— Menjalankan Peri-kemanusiaan

Sebuah perspektif bagi para relawan

Kemanusiaan kita terikat pada berbagai narasi, bukan saja pada kisah-kisah besar alam semesta, kisah penciptaan baik dalam mitologi, agama, pada cerita ilmiah tentang jadinya galaksi dan bintang-bintang, evolusi, dan terbangunnya spesies manusia, sejarah, kebangsaan, suku golongan dan sebagainya—tetapi juga pada kisah-kisah kecil yang spesifik seperti sejarah keluarga, kisah pribadi, detail keseharian, pada cerita tentang kejadian-kejadian personal, karakter, sifat-sifat dan bahkan pandangan hidup pribadi. Tentang setiap kita, selalu bergantung pertanyaan tentang siapakah kita, berdasarkan asal-usul, suku, asal tanah air, ikatan keluarga, sejarah pendidikan dan seterusnya. Bahkan secara pribadi, setiap orang menginginkan hidupnya terbangun dari sebuah narasi yang bermakna — kita seakan selalu ingin menuliskan otobiografi yang sungguh memberi nilai pada kemanusiaan, kita ingin bercerita tentang kisah kita dan ingin menjawab pertanyaan besar tentang siapakah kita dalam narasi yang bermakna.


Inilah energi terpenting kita, bangkit ke dalam narasi, bereksistensi berarti berada dalam paparan cerita, entah dalam cerita riwayat keluarga, kita terlahir sebagai anak dalam keluarga dengan runutan kisah yang sangat tua, kisah yang pasti terekam dalam warna kulit, DNA, tempat lahir, nama keluarga, kebangsaan, impian-impian dan trauma-trauma yang teronggok dalam lapisan kolektif yang dalam. Tetapi kita pasti bangkit dalam narasi, ke dalam cerita yang harus kita tulis sendiri, yang kita rangkai sebagai cara kita masuk ke dalam kehidupan, mungkin tidak lewat pintu yang tersedia, lewat kesempatan-kesempatan yang senantiasa ditawarkan, melainkan melalui celah-celah tak terduga yang kita buat sendiri atau yang terjadi begitu saja akibat kejadian-kejadian atau narasi-narasi tersembunyi yang luar biasa.

*******

Penggalan kisah jalan Braga di atas, yang dinarasikan oleh Pramoedya adalah tentang Raden Mas Minke (R.M. Tirto Adhi Soerjo, 1880 - 1918) yang kehilangan segalanya setelah kembali dari pembuangan. Ia pulang ke Bandung dengan kopor kaleng tua tak berisi untuk menengok kantor surat kabar yang ia dirikan semasa perjuangan, dan tak ada yang dapat dia temukan lagi.

Raden Mas Minke yang jadi tokoh utama tetralogi pulau Buru, bangun dari narasi feodal yang diwarisinya, membaca dengan cermat narasi tersembunyi yang diderita bangsa pribumi Hindia Belanda, seperti Multatuli, ia tersadarkan oleh suatu semangat untuk memberi diri ke dalam sebuah narasi baru, narasi perlawanan terhadap sistem penindasan oleh para intelektual dan birokrat Belanda. Ia adalah sang pemula dalam seluruh sejarah perlawanan intelektual pribumi terhadap kolonisasi atas tanah Hindia Belanda. Ia memperkenalkan narasi tersembunyi yang selama ini hanya bisa dirasakan rakyat jelata, Minke menulis, menuturkan narasi sedih ketertindasan dalam semua tulisannya pada koran yang ia terbitkan bersama kawan-kawannya, Medan Prijaji (1903). Ia lantas ditindas dan dibuang jauh agar tak dapat didengar lagi.

*****

Minke menjadi sadar akan narasi tersembunyi, yang hanya bisa dibaca dengan membangun kepekaan kemanusiaan yang penuh penyerahan diri. Narasi yang tertimbun oleh kebisuan penderitaan rakyat jelata hanya bisa dibaca dan didengar oleh jiwa yang membuka mata, dan menyendengkan telinga, yang terbangun dari tidur panjang kebodohan.

Minke priyayi menjalankan diri sebagai kelas menengah yang aktif, merelakan hidup, menjadi aktivis, menjadi relawan, bukan dengan menjadi peneriak persoalan, melainkan dengan membangunkan semua orang, yang ditindas, yang menindas, dan terutama kaum kelas menengah, yang menikmati privilese priyayi dengan menekan dan menjilat. Ia menuliskan opininya yang tajam, membangun kesadaran dan menyerahkan seluruh hidupnya pada perjuangan di antara bangsa yang belum terjaga.

*****

Ketika sesosok jiwa terbangun, menyadari pentingnya menuliskan hidupnya dalam narasi yang bermakna, ia pasti akan melekatkan narasi hidupnya pada konteks narasi terpenting yang ia yakini dengan segenap jiwanya. Jiwa yang demikian akan merelakan kehadirannya pada cita-cita perubahan, semangat untuk mengubah dunia, memperbaiki dan menggembalakan kehidupan. Satu-satunya bahaya pada penuturan narasi kehidupan adalah kecenderungan narsisistik yang terjadi akibat keengganan merelakan hidup. Kaum perambah kehidupan yang ingin menuliskan namanya dengan ujaran kemegahan, kaum cinta-diri yang menjadikan persoalan masyarakat sebagai tangga mencapai cita-cita pribadi, tentu tidak memiliki kerelaan pada hidup.

Tentang hal ini pun dituliskan Pramoedya dalam lelakon Minke yang mengeluh: Di Eropa, terutama di Perancis, setiap orang yang melakukan sesuatu yang penting dan bermanfaat bagi masyarakatnya, dengan sendirinya mendapatkan tempat dalam masyarakatnya. Lain halnya di Hindia, di sini orang berebut tempat dengan cemas, seperti takut tak kebagian, tanpa mau melakukan hal yang bermanfaat… Karakter kaum priyayi yang tidak mampu merelakan diri pada narasi kehidupan, yang hanya cemas pada tempatnya dalam narasi tua penindasan adalah bahaya yang membisukan bangsa. Kaum intelektual yang berdiam diri, yang hanya asyik mencari posisi, dan membiarkan hidup terperosok dalam kesalahan adalah bencana bagi masyarakat. Kaum intelektual semestinya adalah energi kesadaran masyarakat, daya penggerak dalam komunitas yang beradab. Kaum inilah yang seharusnya memperdengarkan narasi-narasi tersembunyi dalam sistem kemasyarakatan yang tidak adil, dan sekaligus membangun narasi baru menuju kehidupan yang bermartabat.

Merelakan kehidupan adalah menjalankan peri-kemanusiaan, yakni daya empati pada nasib manusia, nasib bangsa, yang tak mampu membaca sendiri narasi tersembunyi yang melumpuhkan martabatnya. Daya empati yang menggerakkan jiwa para aktivis di mana pun di seluruh dunia, merelakan hidupnya untuk pengharapan pada keharusan kehidupan yang beradab. Inilah energi yang membebaskan kita dari narasi bawaan kita: warna kulit, nasib kolektif, keturunan, asal-usul, DNA dan catatan biologis di badan kita, impian-impian dan trauma-trauma bawah sadar, perangkap golongan dan kelompok, riwayat politik, stigma-stigma kronis yang sengaja direkatkan— agar kita bangkit menuliskan narasi humanisme baru yang beradab bagi semua orang.

Seorang aktivis adalah dia yang dilahirkan kembali oleh ibu kehidupan. Warisannya adalah kesadaran akan berbagai narasi baru yang ia temukan sendiri pada realitas kepahitan di dunia, dan ia akan meninggalkan tanah lama tempat seharusnya ia bisa nyaman berakar, masuk merasuk pada tantangan hidup yang mesti berarti. Ia akan merelakan jiwanya, menjalankan peri-kemanusiaannya, melawan arus yang menidurkan orang, mengekalkan kekuasaan dan mematri penderitaan.

*****

Lantas adakah ganjaran yang pantas bagi seorang relawan kehidupan, bagi dia yang terbangun dan menjadi aktif untuk membangunkan komunitasnya? Ganjaran bukanlah ukuran keberhasilan, apalagi ukuran nilai hidup, seperti sebuah cerita yang baik biasanya masih meninggalkan tanya dan keraguan tetapi menyiratkan keteguhan hati pada sang pelakon utama untuk menghadapi hidup dengan berani. Narasi tidak harus berakhir indah bahagia. Lagi pula, apa itu akhir cerita? Seperti cerita Raden Mas Minke di malam hari di dangau kecil setelah melepas harap di jalan Braga, ia tidak mendapatkan apa-apa. Kesenduan di ujung buku Rumah Kaca tersebut adalah tembang sedih Pramoedya tentang hidup yang terlupakan. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, sang pemula kebangkitan kesadaran humanisme kita yang dilupakan oleh penulisan sejarah Indonesia, dia yang mendahului Boedhi Oetomo….

*****

[PIKIR] MENEMUKAN DIRI DI PUSAT KEBERADAAN

Oleh: Umbu Justin

“To be or not to be, that is the question..” 
 Hamlet, Act III, Scene 1, William Shakespeare 


Pangeran Hamlet dari Denmark dalam cerita drama Shakespeare berbicara pada dirinya sendiri, sebuah soliloqui, atas rasa tak berdaya menjalani kehidupan dan mempertimbangkan apakah sebaiknya ia mengakhiri hidupnya. Ia merasa putus asa terjebak pada tekanan hidup akibat terbunuhnya sang ayah oleh pamannya dan keinginan untuk membalas dendam. Sekali pun terujar dalam sebuah frame yang sangat melankolis, kalimat tersebut menginspirasi begitu banyak karya sastra dunia sesudahnya dan menjadi sebuah warisan literer yang sering diungkap kembali justru sebagai afirmasi eksistensial untuk memberi semangat pada perjuangan memenangkan kehidupan.

Di Indonesia kita mengenal penggalan puisi Chairil Anwar: “Sekali berarti, sudah itu mati”, Sajak Diponegoro, 1943, — sebagai sebuah pernyataan semangat untuk menjadikan hidup yang cuma sekelebat ini tidak berlalu begitu saja. Hidup yang meski cuma secuil dalam pergolakan dunia yang serba absurd, pantas jadi cara untuk memperjuangkan makna.

Dalam soliloqui Hamlet dan sajak Diponegoro kita melihat ciri kehidupan yang paling penting, ketika dihadapkan pada persoalan bereksistensi manusia selalu berhadapan dengan realitas krisis hidup dan mati, bukan sekedar bernyawa atau tak bernyawa, tetapi soal makna yang pantas mengisi jalannya hidup. Begitu individu menyadari eksistensinya, ia sekaligus menangkap makna, bukan dalam konsep atau pengertian, melainkan dalam rasa, dalam seluruh atmosfer keberadaan yang melingkupinya. Rasa berada yang intens, yang hanya bisa tertangkap sepenuhnya ketika seseorang menghadapi kondisi ekstrim, entah sesuatu yang sangat menakjubkan atau pun menakutkan. Di hadapan realitas yang mengancam kehidupan, seseorang merasa berada di batas hidup dan mati, entah ia akan putus asa atau melakukan tindakan ekstrim untuk menyelamatkan hidupnya. Di hadapan sesuatu yang sangat menakjubkan, sesuatu yang melampaui daya tangkapnya, seseorang akan merasa kecil, hilang, dan tak berarti. Hamlet merasa putus asa dan cenderung memilih tidur dalam kematian agar realitas berlalu tanpa tanggung jawabnya, sedangkan penyair sajak Diponegoro yang telah melalui semua penindasan mampu melihat celah sempit bagi masa depan bangsanya yang harus ia perjuangkan dengan menghimpun roh sang pahlawan.

****

Enigma eksistensi, teka-teki keberadaan adalah tugas terpenting kita: “To be or not to be, that is the question..”. Di tengah dunia kita bertanya tentang hakekat keberadaan kita dan mempersoalkan kemampuan pembebanan yang bisa kita pikul untuk melayani hidup. Pertanyaan dasar inilah yang sejak dulu telah coba dijawab oleh mitologi, agama-agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan bahkan politik.

Agama dan mitologi terbangun dari pengalaman krisis eksistensial dan rasa tak berdaya manusia di hadapan kondisi ekstrim, di hadapan yang maha menakutkan dan maha menakjubkan. Agama memerintahkan manusia untuk menyembah, mitologi mengharuskan kita untuk melayani kekuatan kosmik dalam berbagai ritual. Politik, dalam hal ini negara atau kekuasaan, berusaha menghadirkan krisis ekstrim tersebut dengan menjadi sangat menakutkan atau mengagumkan dan meniru agama dan mitologi untuk menundukkan manusia menjadi individu-individu yang taat demi ‘kebaikan bersama’.

Filsafat bisa menjadi jalan keluar dari tekanan agama dan mitologi serta politik yang menekan eksistensi namun filsafat tidak dapat menggunakan doktrin apa pun untuk mengajarkan pendapatnya. Filsafat sesungguhnya memang bukan pengajaran, filsafat lebih merupakan sebuah tindakan, sebuah ciri manusia berkesadaran untuk terus memandang ke dalam eksistensinya secara rasional. Pernyataan filsafat terpenting tentang eksistensi datang dari Filsuf Immanuel Kant (…) dari masa renaisans yang menegaskan keberadaan manusia sebagai syarat terakhir dari seluruh pelaksanaan tugas manusia di dunia. Makna manusia tidak didasarkan pada ajaran apa pun, baik dari agama maupun mitologi dan ideologi. Keberadaan manusia itu sendiri sudah cukup untuk menjadi alasan bertindak benar dalam hidup.

****

Belajar dari Dua Pangeran
Soliloqui Hamlet adalah krisis eksistensial, apa artinya terus bernyawa, sementara hidup menjadi beban tak tertahankan, sedangkan roh Diponegoro yang dipanggil penyair adalah api semangat untuk mengatasi krisis kehidupan yang direndahkan kekuasaan kolonial. Chairil Anwar dalam sajak Diponegoro berbicara tentang kesadaran bereksistensi: “Sekali berarti, sudah itu mati”. Makna, keberartian adalah soal terpenting dari persolalan eksistensi. Makna bukan dalam frame mitologis yang menjanjikan kekekalan heroik dengan bahagia di kahyangan, atau agama-agama doktrinal yang menawarkan upah surga bagi yang berbuat baik. Makna dalam gagasan eksistensial penyair ini adalah makna otentik ala Kant, yang tidak meminta referensi supranatural, ‘… sudah itu mati’ selesai tanpa embel-embel janji apa pun.


Humanisme Kant yang tidak menggantungkan eksistensi manusia pada kebenaran di luar kebenaran faktual, adanya kemanusiaan tidak bisa kita lihat sebagai doktrin atau ideologi dogmatik yang biasa kita lihat pada asas paham-paham agama atau politik. Kebenaran Eksistensi manusia adalah daya, energi, tenaga yang menggerakkan seluruh kebenaran. Kita hanya bisa menerimanya dalam tataran dinamis, melalui kegelisahan yang sungguh kita rasakan. Kebenaran ini bukanlah dogmatis atau ideologis, ia adalah kita yang hidup dan gelisah mencari makna kehidupan.

Eksistensi tidak dapat dibuktikan oleh sains atau ideologi. Ia bukanlah jargon yang bisa dilihat di pamflet-pamflet politik atau ulasan filsafat. Eksistensi dalah kebenaran yang dirasakan masing-masing individu, ia adalah hidup itu sendiri. Eksistensi adalah ruang otentik dimana kita menyadari bahwa kita hidup, menyatakan pada diri kita, “kita ada”.

Pada kebenaran ini kita menemukan diri, bahwa kita berada dan merasakan seluruh indera kita terbuka mencerap dunia yang meliputi kita, dunia yang dekat pada detak jantung kita, ruang-ruang kecil di rumah kita, di lorong-lorong kota di antara seliweran kehidupan, manusia sesama yang memerlukan kehadiran kita di dalam dunia maha luas yang tak bisa lagi diukur dengan daya tempuh cahaya… kita tetap di pusat semua kebenaran, kita yang berada di antara krisis Hamlet dan teguh berjuangnya sang Diponegoro. Kitalah sang penyair, eksislah!!

[MASALAH KITA] BERSAMA PARA AKTIVIS DAN RELAWAN: SEBUAH PERCAKAPAN MENGENALI DIRI


“Kenalilah dirimu!” ujar filsuf Socrates dalam dialognya, Phaedrus. "Aku tidak punya waktu luang untuk menjelaskan hal-hal yang luas dan besar itu. Sebuah hal yang aneh bagiku untuk meneliti hal-hal itu ketika aku saja belum bisa mengenali diriku sendiri.”

KONSEP DIRI DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGI
Mengenali diri adalah penting karena diri kita sendirilah yang mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia. Konsep diri, dalam sudut pandang ilmu Psikologi, mempengaruhi kerja-kerja dan pandangan kita. Alvieni Angelica, seorang Psikolog dan pegiat di Capacitar Indonesia, menjelaskan bahwa di dalam konsep diri ada berbagai kumpulan ide antara lain self-image[i], ideal self[ii], self-esteem[iii]. Lebih lanjut, konsep diri adalah bagaimana seseorang memandang, mempersepsikan dan mengevaluasi dirinya.

Konsep diri terbentuk dari pengalaman awal kita sebagai janin, lingkungan pertumbuhan seperti rumah dan sekolah, interaksi dengan orang-orang terdekat hingga pengalaman-pengalaman hidup yang kita lalui. Otak manusia terdiri dari otak bahasa (otak berpikir) dan otak emosi. Pengalaman-pengalaman di atas membentuk konsep diri di dalam otak emosi kita, bahkan sebelum otak berpikir tumbuh sempurna.

Banyak mekanisme diri yang mengubah ide-ide internal kita menjadi sebuah aksi di dunia nyata. Salah satunya, menurut Alvieni adalah proses proyeksi/formasi. Dalam proses proyeksi ini, manusia seringkali mengubah kelemahan dirinya menjadi tampilan sebaliknya. Kelemahan yang kita mudah amati di orang lain, seringkali adalah kelemahan diri kita juga. Sebagai contoh: seseorang yang sangat sensitif terhadap kritik orang lain justru menjadi seorang motivator yang mampu mengubah cara pandang orang lain untuk berpikir positif.

Dalam bekerja maupun berkegiatan di berbagai bidang, siapa saja termasuk aktivis pasti mengalami proses pembentukan maupun pengenalan konsep diri. Menurut Alvieni, salah satu cara untuk mengenal diri sendiri adalah dengan berlatih kesadaran. Di sela-sela kesibukan kita, menyisihkan waktu untuk refleksi dan berlatih kesadaran adalah penting.

BAGAIMANA PARA AKTIVIS MEREFLEKSIKAN DIRI?


Hal serupa diceritakan oleh Sri Suryani, seorang arsitek yang bekerja di Divisi Tata Ruang Ciliwung Merdeka. Dalam berproses mendampingi penggusuran warga Bukit Duri bersama rekan-rekan satu tim, Sri mengutarakan bahwa salah satu komponen penting adalah penyadaran diri. Sebagai pribadi, Sri mencoba menyadari seberapa luas konflik yang terjadi, apa saja yang dia alami dan keterbatasan diri baik sebagai anggota tim kerja maupun dalam keprofesian arsitek. Kesadaran itulah yang membentuk kerja dan pikirnya sehingga terwujud dalam suatu keberpihakan tertentu.
Tauhid Aminulloh, salah satu pendiri kolektif Wikikopi di Yogyakarta, menyebutkan bahwa dia sangat menikmati agenda kepedulian di bidang pendidikan dan pertanian dengan media kopi. Namun sesekali, Tauhid memerlukan waktu untuk berkontemplasi dan mengambil jarak. Mengambil nafas bagi Tauhid penting sembari memperluas objektivitas. “Aku melihat banyak masalah di antara para pendaku idealis adalah mereka tidak pernah memperluas objektivitas,” ujarnya. “Kian lama sebuah idealisme bisa jadi menyempit; hanya terkait hal yang kita pedulikan tapi lantas abai pada idealisme yang lain.”

Beberapa orang mengambil waktu untuk menyegarkan diri dengan bepergian atau travelling. Niniek Febriyanti dan Russelin Edhyati, dua sahabat yang mendirikan Book for Mountain, sama-sama mengaku menyukai travelling. Book for Mountain sendiri merupakan kelompok yang memiliki kegiatan mengumpulkan dan menyalurkan buku ke daerah terpencil, salah satunya ke Agandugume, Papua. Niniek senang bepergian sendiri sehingga dia terpaksa bertemu banyak orang baru dengan cerita yang seru. Bepergian sendiri pun memberinya waktu mengamati hal yang tidak teramati jika pergi beramai-ramai.

“Aku travelling tidak disengajakan untuk mengenal diri saja. Tapi ternyata di dalamnya, aku juga bisa mengenal diri sendiri," ujar Niniek. Rekannya, Russelin berbagi bahwa interaksi dengan banyak orang pun akan menumbuhkan kepedulian di dalam diri kita. Dengan travelling, kita dapat bertemu banyak orang yang berbeda-beda. “Semakin luas, semakin baik.”

"Tips mengenali diri adalah mengenali orang lain," jelas Tauhid, "Sedangkan mengenali kepedulian adalah dengan bermain pengandaian—adakah kondisi yang lebih baik?” Kepedulian yang datang dari dalam diri juga disorot oleh Russelin. Salah satu masalah dunia modern adalah rasa apatis dan hidup yang terkotak-kotak. “Kalau tidak ada kesamaan dengan diri kita, maka kita tidak usah ambil pusing untuk peduli. Banyak yang masih berpikiran seperti itu,” tutur Russelin, “Aku mencoba menempatkan diriku di posisi orang lain. Kalau bukan kita, siapa lagi?" tutur Russelin.

Kepedulian serupa pula yang mendorong Fajar Nurmanto untuk menjadi relawan media. Sebagai lulusan Komunikasi yang sedang mengambil pascasarjana di bidang Sosiatri, Fajar aktif menjadi relawan media untuk Panti Sosial Hafara. Panti Hafara aktif merawat orang terlantar seperti lansia dan anak-anak. Sebagai pekerja media, Fajar melihat bahwa sekarang media gerakan sosial pun harus bisa nge-popselayaknya media-media lain yang tersohor. “Biar nurani masyarakatnya bisa terbangun dari melihat aktivitas-aktivitas sosial. Agar kita tidak individualis," terangnya.

KEPEDULIAN DARI DIRI AKTIVIS DI DUNIA MODERN

Sri bercerita bahwa dia tumbuh besar di kampung pinggiran Jakarta-Bekasi. Saat harus bersekolah di daerah Jakarta Pusat, perjalanan pulang-pergi setiap hari menyuguhkan pemandangan lanskap kota yang berbeda-beda. Hal tersebut turut membentuk kepedulian dirinya. "Dari lingkungan rumahku, sebuah kampung pinggir kota, aku melihat transisi wajah kota di jendela bis setiap menuju pusat Jakarta selama tiga tahun. Lalu, pengalamanku mengunjungi kantor saudara yang bekerja di daerah Sudirman, aku terpapar dengan beragam bentuk dan ruang yang berbeda."

Identitas, bagi Sri, terbatas pada konteks ruang dan waktu. Identitas diri kita bisa jadi berubah di masa depan. Namun, selalu ada benang merah yang ia temui di tahap-tahap kehidupannya. "Aku lebih merasa bahwa selama ini aku adalah seorang storyteller, aku mencoba membuat diriku tidak ada dan terus bercerita," ujar Sri. "Sekarang aku sedang mencoba menghubungkan kerja praktek lapangan dengan teori dan dunia akademis."

Seringkali Sri mendapati label-label disematkan kepadanya seperti aktivis (dalam konotasi negatif) atau penentang pemerintah, dsb. “Kalau kita mau menghimpun label, so what?” sahutnya. Tantangan modernitas baginya adalah bagaimana orang semakin haus akan visual, citra, rupa, dan derasnya arus informasi. “Padahal rupa, yang tampak itu adalah hasil pergumulan ide dan batin yang tidak tampak,” pungkasnya.

Sementara itu, Fajar memiliki kepedulian untuk meneliti program pensiun berkelanjutan. Program pensiun masa kini masih jamak berbentuk santunan, namun tidak sustainable di jangka panjang. Kepedulian Fajar muncul dari melihat dan merefleksikan masa depan orang tuanya. Fajar tinggal di kota Yogyakarta, di mana indeks kesenjangan sangatlah tinggi. Agenda pembangunan kota modern pun ia soroti. Sebaiknya orientasi pembangunan terintegrasi secara setara; bukan hanya pembangunan budaya untuk mengejar ekonomi dan sebaliknya. Menurutnya lagi, ada hal yang lebih mendesak dari kesenjangan ekonomi, yaitu akses sumber daya produksi untuk semua.

Lain cerita dengan Tauhid. Semenjak duduk di bangku SMA, Tauhid merasa ada yang aneh dengan pendidikan yang dia dapatkan. “Aku melihat ada arah gerak pendidikan yang perlu diubah. Bisa oleh siapapun, dan sudah ada yg berusaha. Aku pun melibatkan diri; dengan caraku,” jelasnya. Arah gerak pendidikan kini pun bergerak seiring dengan arah gerak dunia.

Dunia masa modern ini bagi Tauhid akrab dengan segala yang kuantitatif atau dapat dihitung. “Aku mencoba mengakrabkan diri dengan hal-hal yang kualitatif,” jawabnya. “Aku percaya tiap orang punya kepedulian. Hanya saja pengalaman dan lingkungan yang akan membedakan sasaran kepedulian tiap orang.” Dunia pendidikan, bagi Tauhid, mewadahi kegemarannya untuk bertanya.

Russelin menemukan banyak hal yang mendorongnya melakukan banyak kegiatan kerelawanan sembari bekerja. Salah satunya, Russelin merasa membutuhkan interaksi dengan orang lain yang dapat membagikan pesan dan ilmu untuknya, "Bertemu orang lain artinya kita mendapat ilmu baru."  Rasa senang untuk berkompetisi secara positif pun mendorongnya melampaui batasan diri setiap hari.
Satu yang penting bagi Russelin adalah bahwa kepedulian tidak bisa dibentuk di akhir. “Level pendidikan yang pertama yang mengajarkan kepedulian adalah keluarga,” ujarnya. Seturut dengan penjelasan Alvieni dan Russelin, pengalaman Niniek tumbuh di keluarganya pun membentuk konsep diri dan kepeduliannya, “Ada perasaan bahwa aku ingin pekerjaanku berbeda dari pekerjaan orang tuaku. Bukan karena mereka salah, tetapi karena aku melihat bahwa hidup di sisi lain juga bisa menyenangkan,” Niniek bercerita.

“Aku lekat dengan hal-hal yang menantang; sehingga aku selalu bekerja di mana permasalahan itu ada terus. Aku merasakan rasa tanggung jawab yang kuat, terutama setelah memulai suatu gerakan atau organisasi,” tutur Niniek. Sewaktu masih menjadi siswa SMA, Niniek pun membaca buku Solitaire Mystery karya Jostein Gaarder. “Dari buku itu aku memahami bahwa menjadi berbeda itu tidak apa-apa,” pungkasnya.

APA YANG MEMBUATMU TERUS BERKEGIATAN?
Para aktivis dan relawan yang diwawancarai untuk artikel ini, memberi jawaban beragam untuk pertanyaan, “Apa yang membuatmu terus berkegiatan?” Russelin dan Fajar memberi jawaban serupa: keseimbangan. “Aku butuh untuk jadi tetap seimbang. I need that balance. Melakukan kewajiban kerja mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mencukupi kebutuhan jiwa,” jawab Russelin. Sedangkan Fajar mengaku sudah menemukan rumus keseimbangan sejak dulu, yaitu keseimbangan 3 hal : hati, pikir, dan perut. “Kalau hilang satu, jadi ada yang kurang,” jelas Fajar.




Fajar pun menambahkan, “Ketiganya harus dapat ruang untuk berkembang. Prinsip utamanya adalah migunani tumraping liyan.” Falsafah migunani tumraping liyan (Jw) memiliki arti berguna untuk sesama. Russelin pun punya konsep berbagi dengan sesama melalui ilmu, “Bertemu banyak orang memperkaya diri. Bertemu orang lain artinya mendapat ilmu baru, mendapat tempat berbagi ilmu. Berbagi adalah bagian dari jiwa sosial, ya. Hal-hal ini membuat hidupku lebih seimbang.”

Tauhid memberikan jawaban yang penuh harap akan masa depan. Tauhid kini sedang berproses bersama kawan-kawan Wikikopi dengan menggelar berbagai kelas dan residensi dengan media belajar kopi dan pangan. “Aku tetap berlanjut karena 2 bocahku. Aku sekadar ingin agar mereka dapat menikmati dunia yang lebih baik saja,” jelasnya.

PENUTUP
Mengenali diri penting bagi kegiatan dan kerja kita untuk dunia yang lebih baik. Dalam mengenali diri, kita memberi ruang bagi diri kita untuk mempertanyakan konsep diri dan berbagai mekanisme pikiran yang mendasari hal-hal yang kita lakukan. Berkaitan dengan itu pula, kepercayaan-kepercayaan serta sudut pandang yang diri kita pilih untuk melihat dunia di sekitar kita.

Konsep-konsep di dalam diri kita mempengaruhi kerja-kerja dan kegiatan yang kita pilih di dalam hidup. Memperluas objektivitas, memperluas ilmu, memperluas hati dan pikir baik dilakukan secara berkala untuk mendukung kerja-kerja kita. Kita bisa melakukannya melalui berlatih kesadaran di waktu luang, berinteraksi secara luas dengan sesama maupun mengambil jarak dari keseharian kita untuk refleksi diri.

Satu cara mengenali diri adalah dengan mengenali orang lain juga, usul Tauhid di sela percakapan mengenali diri. Hal tersebut didukung juga oleh Alvieni yang mengusulkan bahwa salah satu latihan mengenali diri adalah untuk, "Membaca biografi orang-orang, ya." Membaca kisah hidup para tokoh merupakan satu cara untuk mengenal konsep diri mereka dan apa yang mereka perjuangkan di berbagai konteks dan budaya yang berbeda dengan kita. Dengan latihan kepekaan dan kecerdasan emosional tersebut, kita akan mendapatkan bekal untuk perjalanan diri kita masing-masing.

“Pertama-tama, tentukanlah dirimu ingin menjadi apa; lalu kerjakan apa yang harus kamu kerjakan,” Epictetus berujar, tiga abad kemudian setelah Socrates.




[i] Self-image:adalah gambaran mental yang sudah bertahan dalam pikiran seseorang tentang dirinya. Gambaran diri ini tidak hanya sifat dan deskripsi yang dapat dilihat saja(seperti bentuk fisik, warna kulit), tetapi juga hal-hal yang dia pelajari tentang dirinya dari pengalaman pribadi atau proses internalisasi penilaian dari orang lain. (disarikan dari Self-image, https://en.wikipedia.org/wiki/Self-image, diakses 27 Maret 2017)
[ii] Ideal-self adalah representasi sifat-sifat yang diinginkan untuk diri kita, baik oleh kita atau orang lain (aspirasi atau harapan orang untuk diriku). Diri ideal biasanya mendorong seseorang untuk berubah menjadi lebih baik. (disarikan dari Self-discrepancy theory, https://en.wikipedia.org/wiki/Self-discrepancy_theory, diakses 27 Maret 2017)
[iii]Sedangkan self-esteem adalah evaluasi emosional yang menyeluruh dan subjektif terhadap diri kita sendiri, termasuk penilaian diri dan sikap kita akan diri kita sendiri. (disarikan dari Self-esteem, https://en.wikipedia.org/wiki/Self-esteem, diakses 27 Maret 2017)

[OPINI] AKTIVIS BEREFLEKSI


Apa tujuan Anda menekuni aktivitas keberpihakan dan membela kaum lemah?
Menegakkan keadilan?
Membantu sesama memperoleh haknya?
Menciptakan damai dan bahagia dalam kehidupan sekarang?
Memenuhi panggilan hidup?
Mengikuti teladan idola?
Menekuni kesempatan yang terberi?
Balas jasa atas pembelaan yang sebelumnya sudah diterima?
Atau, Anda belum memiliki tujuan spesifik secara jelas? Anda sekedar mengikuti arus hidup di depan mata, sambil menunggu pekerjaan yang tepat untuk Anda tekuni. Perlukah aktivis memiliki, ataupun menyadari tujuan dari keberpihakan dan aksinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita hayati terlebih dahulu dua kondisi berikut.

Ada seorang pemuda yang ditugaskan untuk menyelamatkan sebuah desa di seberang hutan. Hal pertama yang ia lakukan dalam perjalanan menuju desa itu adalah mencari pohon yang sangat tinggi. Setelah menemukan pohon yang dirasanya paling tinggi, ia pun memanjat hingga puncak dan berupaya melihat desa yang menjadi arah tujuannya. Ternyata, pohon yang ia panjat masih kalah tinggi dengan rimbunan pohon di tengah hutan, sehingga pandangannya terhalang ke arah desa. Namun ia cukup puas, karena ia tahu sasaran terdekat yang perlu ia wujudkan. Ia masuk ke tengah hutan. Setibanya di rimbunan pohon tinggi, ia memanjat kembali salah satu pohon, dan kali ini, ia dapat memandang leluasa ke arah desa. Ia melihat rintangan-rintangan yang akan ia lalui. Ia turun, melakukan persiapan menghadapi rintangan, dan fokus melanjutkan perjalanan hingga sampai tujuan.
Di waktu lain, ada juga seorang pemuda, mendapat penugasan serupa, yakni menyelamatkan sebuah desa di seberang hutan. Pemuda ini langsung melakukan perjalanan masuk hutan untuk menyelesaikan tugasnya dengan segera. Pada awalnya, ia yakin dengan arah jalan yang ia pilih, karena kondisi hutan di pinggir mulai berubah menjadi kondisi hutan di dalam. Setibanya di tengah hutan, ia mulai berputar-putar. Beberapa malam berlalu, namun lagi-lagi ia kembali ke tempat yang sepertinya sudah pernah ia lewati. Ia lelah, nyaris putus asa. Ia memutuskan beristirahat beberapa hari sambil memikirkan jalan keluarnya. Setelah kondisinya pulih, ia melanjutkan perjalanan. Ia memberi tanda jalan yang sudah ia lalui. Pada waktu menemukan kembali jalan yang sudah ditandai, ia memilih jalan lain. Manakala lelah, ia berhenti untuk istirahat. Demikian seterusnya, hingga akhirnya ia semakin mendekati desa tujuannya.

Ambil waktu sejenak, untuk menyadari kesan utama yang muncul dalam diri Anda.
Tidak ada kesan?
Atau ada rasa tertentu?
Bila tidak ada kesan, tanyakan ke dalam diri, apakah Anda ingin memperoleh kesan tertentu?
Bila Ya, maka baca ulang kembali dua paragraf di atas, sampai mengalami rasa khusus.
Cecap dalam-dalam rasa yang hadir, sampai Anda pun bulat menamai kesan rasa tersebut.

Mungkin, Anda merasa salut pada komitmen dua pemuda dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Ya, tujuan mereka jelas, yakni memenuhi tanggung jawab yang diberikan. Mungkin, Anda mengagumi langkah taktis dari pemuda pertama, sekaligus memahami kondisi pemuda kedua. Ya, pemuda pertama berorientasi pada pentingnya tujuan, sehingga pikiran-tindakannya terarah secara tepat sasaran dan efisien. Sementara pemuda kedua berorientasi pada eksekusi, sehingga sebagian pikiran-tindakannya melalui masa trial-error terlebih dahulu sebelum sampai ketujuan akhir. Jadi, menurut Anda, perlukah aktivis memiliki, ataupun menyadari tujuan dari keberpihakan dan aksinya?

Ada seorang aktivis yang bergerak di bidang traumahealing atau penyembuhan luka batin. Suatu ketika, ia berjumpa dengan subjek yang hendak diaborsi pada masa bayi, merasa bersaing terus dengan kakaknya yang hanya setahun lebih tua daripadanya, dan sedang terlibat perselingkuhan mendalam dengan beberapa lawan jenis karena tinggal berpisah kota dari pasangan menikahnya. Aktivis sendiri menyadari luka batinnya, dan menemukan penyembuhan pelan-pelan melalui hubungannya dengan subjek yang ia bantu. Tanpa sadar, kedalaman hubungan subjek dengan aktivis menimbulkan salah tafsir pada diri mereka masing-masing. Keduanya berpikir bahwa mereka saling jatuh cinta. Aktivis merasa bertanggung jawab untuk menetralisir kondisi. Kelekatan dua belah pihak perlu dilepas, mulai dari dirinya sendiri. Perjalanan melepas kelekatan pribadi sekaligus selalusiap sedia membantu sesuai permintaan berlangsung bersamaan. Dua arah perjalanan yang bertentangan ini mengalami jatuh bangun. Hingga pada suatu titik, aktivis sadar bahwa tujuan utama adalah melepas kelekatan, sementara kondisi aktual adalah belum 100% rela melepas kelekatan. Peta tujuan dan kondisi saat ini menjadi dasar pengambilan keputusan selanjutnya. Tujuan menjadi pusat dan satu-satunya dasar pertimbangan. Ia memilih menghentikan hubungan dengan subjek terkait hingga minimal kondisinya sendiri kembali netral. Entah bagaimana mekanisme alam semesta bekerja, tindakan aktivis melepas kelekatan dari subjek terjadi bersamaan dengan upaya subjek melepas kelekatan terhadap aktivis maupun beberapa selingkuhannya. Aktivis takjub, lega, bersyukur, dan yakin bahwa tujuan perlu jelas dan ditegakkan, sebagai acuan menimbang, memutuskan, dan bertindak.

Apa akibatnya bila aktivis tidak jernih menyadari tujuan dari keberpihakan dan aktivitasnya? Aktivis berisiko salah arah atau salah fokus dalam aksinya, yaitu mengutamakan cara / sarana, dan bukan tujuannya.

Ada seorang aktivis di bidang pendidikan dan lingkungan hidup, yang sangat bersemangat dalam menjalankan aktivitas dan mewujudkan keberpihakannya. Seiring waktu, banyak tawaran dari luar organisasinya datang mengalir terus. Karena ragam tawaran tersebut sesuai dengan panggilan jiwanya, maka ia pun menerimanya. Ia merasa sudah pada tempatnya ia menerima, karena tawaran yang datang sesuai dengan visi dan misinya. Dalam menjalani proses aneka tawaran bersamaan dengan aktivitas utamanya, ia merasa kelelahan. Ia merefleksikan semua kegiatannya, menyandingkan dengan kapasitas dan keterbatasannya dari segi waktu dan tenaga. Ia pun membuat skala prioritas, mulai dari mana yang paling mendekati visi misi dan memberikan dampak paling besar bagi keberpihakannya, sampai dengan yang paling kecil dampak dan keterkaitannya dengan visi misi. Skala prioritas meningkatkan sense of purpose dari aktivis yang bersangkutan. Pusat perhatiannya bukan lagi pada tawaran kegiatan yang datang. Ia menempatkan tawaran kegiatan sebagai sarana yang menunjang ia mencapai tujuan. Skala prioritas membantu ia dalam menentukan pilihan dalam keterbatasan yang ada secara tepat sasaran. Buahnya adalah kebahagiaan yang bertahan lama pada setiap pihak yang terlibat. 

Dua pengalaman di atas menunjukkan bahwa di samping tujuan yang jelas, ada satu faktor kunci dalam melakukan refleksi, yaitu penempatan diri sendiri sebagai sumber masalah sekaligus sumber solusi. Tanpa faktor kunci ini, analisa seperti lumpuh, karena eksekusinya bergantung pada orang lain, dan mengubah orang lain berada di luar kendali diri sendiri. Lihatlah nasib ragam analisa yang menempatkan pihak eksternal sebagai sumber masalah dan solusi. Kumpulan analisa tersebut hanya menggugah pikiran sejenak, lalu menjadisia-sia tanpa tindak lanjut. Aktivis yang melakukan analisa demikian, dan bukan berefleksi (bercermin-melihat bayangan diri dalam situasi di hadapan), menjadi lupa untuk memberdayakan dirinya sendiri sebagai titik pusat. Mari, Berefleksi!

***        
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...